Buku ini mengemban misi prestisius. Ahmad Baso merunut diskursus intelektual gagasan Islam Nusantara, yang sedang ramai diperbincangkan. Pandangan miring mengenai Islam Nusantara mengemuka. Bahwa ini tidak lebih hanya projek baru yang diluncurkan oleh Nahdlatul Ulama.
Judul Buku : The Intelectual Origins of Islam Nusantara, A Study on a Globalising Indonesian Islam and reform of Hegemonic Reason
Penulis : Ahmad Baso
Penerbit : Pustaka Afid, Jakarta
Terbit : pertama, 2017
Tebal : 83 halaman
Misi prestisius tersebut coba dijawab oleh Ahmad Baso dengan menghadirkan genealogi Islam Nusantara, mulai dari jejak Wali Songo pada abad ke 14 sampai 16 hingga jejaring ulama Jawi di Arab. Baso menolak anggapan bahwa Islam Nusantara hanya “kegenitan intelektual”.
Bagi Baso, Islam Nusantara itu, “..something intellectual in nature, epistemological in vision, historical in function”, hal xii. Ia memiliki berbagai macam perangkat untuk bisa disebut sebagai basis pengetahuan yang utuh, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Maka itu, jika ada kalangan yang mengolok-olok konsepsi dan genealogi Islam Nusantara, ada baiknya Anda melayangkan buku tipis ini (setebal 83 halaman saja) ke mukanya. Bukan. Bukan akan merasa sakit karena buku ini ringan dan dijamin tidak akan sampai membuat Anda mengaduh. Namun, penjelasan Baso yang melacak genealogi Islam Nusantara yang bakal menohok dan sekaligus membungkam suara nyinyir yang dialamatkan kepada gagasan ini.
Di mata orientalis, Islam (di) Nusantara dipersepsikan menyimpan ketidakmurnian atau sinkretik. Pandangan ini, menurut Baso berkebalikan dengan fakta bahwa ulama Jawa dan karya-karya mereka menjadi kitab rujukan di Makkah dan Madinah. Dengan begitu ingin menegaskan bahwa pandangan sinkretik para orientalis tidak membuat Islam ala ulama Jawa kehilangan marwah dan magisnya di mata internasional, hal xiv.
Baso menyindir bagaimana para orientalis melihat Nusantara yang, olehnya, diibaratkan layaknya museum. Di museum, para pengunjung hanya melihat dekorasi hasil karya olahan, tidak melihat originalitas yang sesungguhnya. Padahal, terdapat banyak fakta-fakta yang, barangkali, tidak terungkap atau memang sengaja disembunyikan guna menampilkan hasil karya pemuseum. Begitu, kira-kira analogi sekaligus kritik yang dilancarkan oleh Ahmad Baso, hal 4.
Menurut Hikayat Raja-raja Pasai (abad ke-14), disebutkan bahwa datangnya Islam di Nusantara, lebih tepatnya di wilayah Samutra (baca: Sumatra) pernah disinggung oleh Nabi Muhammad. Bahwa nanti, di negeri bawah angin itu akan bermunculan banyak Wali Allah. Dari teks tersebut terdapat dua poin utamanya yang layak disimak.
Pertama, untuk pertama kalinya Nusantara disebut sebagai bagian dari pusat Islam dalam konteks proses islamisasi antara abad ke-10 dan ke-12. Julukan Darul Islam yang disematkan untuk Semutra (baca: Sumatra) menandakan bahwa betapa pentingnya posisi strategis Semutra Pasai, yang mana memiliki kesamaan peran dengan negara-negara Arab.
Kedua, kontribusi kota Mengiri dalam proses penyebaran Islam di Semutra yang, dinujumkan oleh Nabi Muhammad, akan memunculkan banyak wali. Baso menyebut, dengan mengutip Dr Fatimi dari Islam Comes to Malaysia, bahwa Mengiri merupakan kota maju dengan populasi muslim yang besar dan memiliki banyak tempat keramat, hal 8. Mengiri, dalam Hikayat Raja-raja Pasai, ditengarai memaninkan peran krusial dalam proses Islamisasi di seluruh wilayah Indonesia dengan memulai kerajaan Semutra Pasai sebagai titik pijak, hal 9.
Yang tak dapat dipisahkan dari khazanah Islam Nusantara yaitu sebuah metodologi berpikir dan bertindak yang berbunyi, al-muhafazhah ‘ala ‘l-qadimi ‘l-sshalih wa ‘l-akhzhu bi’l-jadidi ‘l-ashlah (menjaga hal lama yang baik, mengambil hal baru yang lebih baik). Konsep atau metodologi ini membantu mengartikulasikan realitas dengan lebih bijaksana tanpa tercerabut dari akar kebudayaanya, 52-54.
Sementara itu, membicarakan Islam Nusantara tidak sempurna jika tidak menyebut Wali Songo di dalamnya. Sunan Bonang, misalnya, merupakan sosok pertama yang memperkenalkan Islam dengan menggunakan tulisan jawa (hanacaraka). Sedangkan Sunan Giri menggunakan huruf pegon (tulisan Arab-Jawa) untuk mengartikulasikan ajaran islam kepada masyarakat Jawa, hal 32-33.
Tentu saja, langkah kebudayaan yang ditempuh oleh keduanya bisa dibilang sebagai prototipe model persebaran ajaran Islam yang tidak menanggalkan unsur kebudayaan. Dengan model seperti itu, masyarakat nusantara tidak merasa tercerabut dari akar kebudayaannya sembari mendapatkan pemahaman baru mengenai Islam.
Metode semacam itu, yang dalam kosmologi Islam Nusantara, mesti dirawat dan diruwat. Agar tidak terjadi gegar kebudayaan lantaran tidak mampu menjadi penyambung lidah kebudayaan bagi masyarakat dengan corak yang unik dank has. Dalam hal ini, dakwah kultural sangat dibutuhkan, bukan dakwah yang menerabas anasir kebudayaan lokal yang dianggap khurafat, syirik, dan takhayul (sinkretik).
Alhasil, buku ini bisa menambah daftar bacaan yang mengulas tentang Islam Nusantara; satu diskursus keagamaan yang hinggi kini terus mendapatkan sambutan, baik bagi mereka yang sepakat dan mendukung juga sambutan penolakan dari yang nyinyir dengannya. [ed]
Discussion about this post