“Kita mungkin lahir dalam negara dengan penganut Islam, kau ini menuhankan Tuhan atau Agama?”
Nukilan kalimat tersebut bukanlah sebuah teori dalam bidang teologi atau kutipan dari buku-buku bernuansa religi, melainkan sebuah pembuka dalam antologi puisi yang bertajuk Rahmatan Lil Alamin. Perlu kita akui, pembicaraan yang memfokuskan bahasan terhadap Islam selalu sukses menyeret minat orang kebanyakan. Ibarat oase di tengah kepungan modernitas, Islam menjadi penawar pikiran-pikiran yang kering. Posisinya sangat strategis jika didekati dari sudut pandang disiplin yang beragam.
Secara historis, Islam berkembang demikian pesat sejak disiarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Boleh dibilang seluruh belahan dunia telah tersentuh dengan kaul suci yang ditebarnya. Berpatok pada hal itu, tentu banyak sebab yang melatari lajunya perkembangan Islam, salah satunya adalah wacana Rahmatan Lil Alamin. Wacana itulah yang kini menjadi mainstreaming pada forum lepas maupun formal di Indonesia, pun dalam antologi ini.
Antologi puisi yang digagas oleh Komunitas Santri Batang ini mencoba memberi “warna” berbeda atas ramainya pembicaraan wacana tersebut. Total tercantum 45 buah puisi yang ditulis oleh 26 penyair dengan berlatarbelakang santri. Mereka, para penyair, secara kompak mengekspresikan keresahan terhadap perilaku radikalisme dan krisis toleransi yang seolah tak pernah angkat kaki dari bumi pertiwi.
Isu agama dan negara, perbedaan, juga kampanye perdamaian adalah 3 kecenderungan pecahan tema, meskipun muaranya tak jauh-jauh dari benang merah Rahmatan Lil Alamin. Misalnya, pada puisi “Negeri Kami Bukan Negeri Thaghut”, halaman 6. Larik sekaligus judul puisi ini, telah secara gamblang memberi gambaran atas sikap beragama dan bernegara masyarakat Indonesia yang selalu menunjung tinggi nilai-nilai wasathiyah. Bahkan larik tersebut direpetisi sebanyak 3 kali sebagai bentuk penegasan. Artinya, orang Indonesia adalah manusia ideal yang akrab dengan sikap moderat dan inklusivitas.
Sikap dan nilai itulah yang minim dimiliki oleh saudara-saudara lain di kubu sebelah (baca: ekstrem kanan). Kubu ekstrem kanan, dengan pongahnya sering mengolok-olok sistem kenegaraan yang saat ini berlaku di Indonesia. Bahkan sampai pula pada perbuatan memaki-maki ibadah amaliah kelompok lain di luar kelompok mereka. Singkatnya, kelompok itu tidak setuju dengan jalan yang ditempuh oleh bangsa kita, baik dalam konteks beragama juga bernegara.
Lain lagi dengan puisi berjudul “Berbeda Tapi Sama” di halaman 27. Puisi ini termasuk dalam kategori tema perbedaan. Dalam puisinya, penyair punya misi mengajak pembaca untuk mensyukuri kemajemukan; suatu hal yang kini langka ditemukan pada diri manusia-manusia beragama. Karena memiliki hidden mission berupa ajakan, dengan cerdik penyair menyelipkan gaya persuasif yang disampaikan secara bias melalui larik berikut, “Di balik perbedaan muncul setumpuk warisan untuk bersama”. Ajakan yang implisit pada larik itu, tentu ditujukan kepada seluruh umat beragama di Indonesia agar mampu keluar dari kungkungan intrik tak berkesudahan menuju peradaban yang benar-benar pure madani. Bukankah menurut kalam yang telah beredar, perbedaan adalah wujud belas kasih Tuhan sekaligus ketetapan?
Terakhir, poin kampanye perdamaian begitu dominan diekspresikan oleh para penyair. Salah satunya dalam puisi “Islam Rahmatan Lil Alamin”, halaman 53. Wajah perdamaian diungkapkan penyair dengan lirik yang memuat citraan intelektual. Mari cermati kutipan larik ini, “Islam rahmatan lil alamin: melindungi satu manusia seperti menghidupkan segalanya”.
Larik tersebut sebenarnya sangat sederhana konstruksinya. Namun demikian, tidak sembarang orang mampu menggali makna dan menafsirkannya menjadi hasil pembacaan yang lapang. Begitulah prinsip yang berlaku pada citraan intelektual: menguras pikiran untuk menghasilkan asosiasi-asosiasi yang mapan. Sebab itu, tidak berlebihan rasanya jika pembaca nantinya akan banyak disuguhi dengan citraan intelektual dalam puisi-puisi yang mengetengahkan keguyuban ini.
Antologi puisi Rahmatan Lil Alamin ini hadir sebagai wujud syukur para penyair dalam merayakan moderasi dan perbedaan. Barangkali pula puisi-puisi yang tersaji, ditulis sebagai refleksi intelektual dan spiritual atas pengalaman pembaca atau bahkan oleh penyair itu sendiri. Pada akhirnya, setelah khatam mendaras antologi mungil ini, kita akan paham bahwa berekspresi lewat puisi adalah alternatif melawan kemungkaran tanpa perlu menyulut api pertikaian.
Judul : Rahmatan Lil Alamin
Penulis : Komunitas Santri Batang
Penerbit : Oase Pustaka
Cetakan : I, Juni 2020
ISBN : 978-602-457-446-8

Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.