Dr. Fiona waswas ketika akan melakukan operasi terhadap Malala, padahal ia telah ratusan kali mengeksekusi kasus serupa: anak-anak korban di area pertempuran. Perasaan tersebut menggelayuti pikirannya lantaran gadis pasiennya kali ini bukan gadis biasa pada umumnya. Setelah ia mencari data di internet, ia menemukan fakta bahwa gadis tersebut adalah permata.
Bahkan, Dr. Fiona sempat berucap: “Jika Malala meninggal, berarti aku membunuh Ibu Teresa-nya Pakistan.”
Malala Yousafzai terlahir di Lembah Swat di Pakistan, lembah yang baginya merupakan lembah terindah. Tepatnya di kota Mingora, kota terbesar di lembah. Sayang, keindahan itu tidak seirama dengan penerimaan masyarakat terhadap kaum hawa: dirinya sendiri.
Ia tumbuh dan berkembang dalam kondisi masyarakat yang memandang sebelah mata wanita, tidak menghargai peran mereka, serta lebih gembira merayakan kelahiran anak laki-laki dibanding kelahiran perempuan. Ketika ia terlahir, sebagaimana tradisi orang Pashtun, tidak ada ekspresi kebahagiaan yang membuncah. Justru hari-hari tampak muram dengan kelahiran anak perempuan.
Namun, pandangan semacam itu ternyata tidak selamanya dipegang teguh oleh semua orang di sana. Adalah Ziauddin, ayahanda Malala, yang pertama menumbuhkan gagasan persamaan antara laki-laki dan perempuan kepadanya. Optimisme itu dibangun bahkan ketika Malala baru saja dilahirkan, yakni di saat para tetangga dan kerabat merasa iba dengan kelahiran putrinya, justru Ziauddin berkata dengan lantang, “Aku tahu ada sesuatu yang berbeda dari anak ini.” (hal 20)
Ucapan Ziauddin tersebut mungkin akan menjelma cemooh sejarah jika Malala tidak secemerlang sekarang ini. Barangkali, tetangganya akan semakin memperolok dirinya. Takdir berkata lain. Malala mengubah pandangan tersebut. Ia bukan sosok perempuan yang selalu dianggap remeh. Pemberian nama Malala sendiri diambil dari seorang pahlawan perempuan terbesar di Afganistan bernama Malalai. Pada tahun 1880, Malalai menjadi inspirator bagi tentara Afganistan menaklukkan Inggris di tengah kecamuk pada Perang Inggris-Afganistan Kedua. Kini, setelah ratusan tahun terlewat, kita mengenal Malala Yousafzai.
Kiprahnya semakin disorot publik ketika salah seorang talib Thaliban menembakkan tiga peluru kepada Malala. Ia dituduh telah berperan dalam penyebaran sekularisme. Seorang juru bicara Tehrik-I Taliban Pakistan, Gerakan Taliban Pakistan bernama Ehsanullah Ehsan menyebutnya dengan, “dia masih muda, tapi mendorong kebudayaan Barat di wilayah-wilayah Pastun. Dia pro-Barat, dia bicara menentang Taliban; dia menyebut Presiden Obama sebagai idolanya.” (Hal 300)
Sebelum terjadi insiden memilukan itu, Malala memang sudah menjadi momok bagi Taliban. Ia sering mengampanyekan kepada teman-temannya untuk tidak takut dengan intimidasi dari Taliban. Perempuan, baginya, harus berani melawan kebiadaban yang menyingkirkan mereka dari realitas sosialnya. Perjuangan Malala, yang didukung penuh oleh ayahnya, mendapat sambutan baik dari masyarakat, meskipun tak sedikit yang mencela jalan yang ditempuh untuk berjuang.
Pendidikan
Berkat benih pendidikan yang diberikan oleh sang ayah, Malala memulai aktivitasnya dengan memberikan semacam pengaruh terhadap teman sejawat. Kegetolan dalam memperjuangkan persamaan perempuan di tanah kelahiran, Pakistan, membuatnya selalu dihantui ketakutan ketika keluar rumah. Bahkan ketika ia keluar untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh ayahnya. Ia dihantui bayang-bayang talib yang bertebaran di mana-mana. Talib adalah sebutan bagi anggota kelompok militan Taliban.
Di negeri di mana perempuan masih menempati kelas yang kesekian di tatanan sosial, Malala hadir membungkam tradisi. Ia menawarkan pergerakan menentang dogma taliban yang terlanjur menjadi panutan seluruh perempuan di Pakistan. Di sana, perempuan bisa menjadi alat barter agar perselisihan antara dua suku berdamai. Tradisi itu disebut swara, yakni anak perempuan menjadi tumbal agar permusuhan diakhiri.
Di samping itu, Taliban melakukan berbagai macam pelarangan bagi perempuan, misalnya dilarang tertawa keras, dilarang memakai sepatu putih karena warna putih hanya milik kaum lelaki. Mereka juga akan dipukul karena melakukan hal-hal remeh seperti mengecat kuku. Malala menentang semua itu dan mencoba memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya.
Namun, sikapnya tersebut ternyata bukan tanpa panutan. Ayahnya berhasil membangun paradigma berpikir. Dulu, kelahiran Malala tidak dirayakan dengan gegap gempita oleh keluarga besar. Tradisi yang telah terbentuk dan mengakar menyebut anak perempuan tidak memiliki derajat yang sama dengan anak laki-laki: sebuah pandangan kolot nan jadul. Pada titik, ingatan saya terlempar pada zaman Nabi yang juga menentang kesewenangan orang-orang jahiliyah terhadap eksistensi perempuan, di mana pada zaman itu anak-anak perempuan absah untuk dikebumikan hidup-hidup.
Dalam buku ini, Malala menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya. Di usianya yang masih terbilang muda, yakni lima belas tahun, ia sudah memiliki pemikiran cemerlang tentang kesetaraan hak dan pentingnya pendidikan bagi siapa pun. Ia lantang melakukan orasi di berbagai panggung acara. Ia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia bisa membuat senyum tersungging di bibir sang ayah seperti halnya orangtua lain berbangga terhadap anak-anak laki yang berjihad di medan peperangan.
Malala sendiri yakin bahwa jihad tidak sesempit yang dipahami oleh banyak orang dengan berperang di medan pertempuran. Akan tetapi, sesuai konteks yang dibutuhkan pada zaman dan kondisi. Dan, bagi Malala, peran yang dia jalankan adalah melalui pena dan tulisan. Lewat itu pula, gagasan-gagasan revolusionernya dicerna oleh banyak kalangan. Hal ini yang memicu talib bernama Ataullah Khan menembakkan peluru-peluru ke kepala Malala.
Lebih dari semua hal yang Malala lewati, ia tidak ingin dikenal sebagai “anak perempuan yang ditembak oleh Taliban”, melainkan sebagai “anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan” (hal 361). Satu cita-cita luhur di tengah gebalau kondisi yang mengungkung perempuan untuk bisa terdidik. Ya, Malala bukan martir, ia adalah penyuluh.
Di negeri di mana perempuan masih menempati kelas yang kesekian di tatanan sosial, Malala hadir membungkam tradisi. Ia menawarkan pergerakan menentang dogma taliban yang terlanjur menjadi panutan seluruh perempuan di Pakistan. Di sana, perempuan bisa menjadi alat barter agar perselisihan antara dua suku berdamai. Tradisi itu disebut swara, yakni anak perempuan menjadi tumbal agar permusuhan diakhiri.
Di samping itu, Taliban melakukan berbagai macam pelarangan bagi perempuan, misalnya dilarang tertawa keras, dilarang memakai sepatu putih karena warna putih hanya milik kaum lelaki. Mereka juga akan dipukul karena melakukan hal-hal remeh seperti mengecat kuku. Malala menentang semua itu dan mencoba memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya.
Namun, sikapnya tersebut ternyata bukan tanpa panutan. Ayahnya berhasil membangun paradigma berpikir. Dulu, kelahiran Malala tidak dirayakan dengan gegap gempita oleh keluarga besar. Tradisi yang telah terbentuk dan mengakar menyebut anak perempuan tidak memiliki derajat yang sama dengan anak laki-laki: sebuah pandangan kolot nan jadul. Pada titik, ingatan saya terlempar pada zaman Nabi yang juga menentang kesewenangan orang-orang jahiliyah terhadap eksistensi perempuan, di mana pada zaman itu anak-anak perempuan absah untuk dikebumikan hidup-hidup.
Dalam buku ini, Malala menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya. Di usianya yang masih terbilang muda, yakni lima belas tahun, ia sudah memiliki pemikiran cemerlang tentang kesetaraan hak dan pentingnya pendidikan bagi siapa pun. Ia lantang melakukan orasi di berbagai panggung acara. Ia ingin menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia bisa membuat senyum tersungging di bibir sang ayah seperti halnya orangtua lain berbangga terhadap anak-anak laki yang berjihad di medan peperangan.
Malala sendiri yakin bahwa jihad tidak sesempit yang dipahami oleh banyak orang dengan berperang di medan pertempuran. Akan tetapi, sesuai konteks yang dibutuhkan pada zaman dan kondisi. Dan, bagi Malala, peran yang dia jalankan adalah melalui pena dan tulisan. Lewat itu pula, gagasan-gagasan revolusionernya dicerna oleh banyak kalangan. Hal ini yang memicu talib bernama Ataullah Khan menembakkan peluru-peluru ke kepala Malala.
Lebih dari semua hal yang Malala lewati, ia tidak ingin dikenal sebagai “anak perempuan yang ditembak oleh Taliban”, melainkan sebagai “anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan” (hal 361). Satu cita-cita luhur di tengah gebalau kondisi yang mengungkung perempuan untuk bisa terdidik. Ya, Malala bukan martir, ia adalah penyuluh. Bolehlah disebut bahwa Malala adalah Ibu Kartini dari Pakistan. Habis gelap terbitlah terang.
Judul : I am Malala, Menantang Maut di Perbatasan Pakistan-Afganistan
Penulis : Malala Yousafzai dan Christina Lamb
Penerbit : Mizan
Terbit : pertama, Mei 2014
Tebal : 283 halaman
ISBN : 978-979-433-840-7
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.