Toleransi umat beragama selalu menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Negeri multikultur ini terus riuh oleh hal-ihwal bagaimana konsep toleransi diterapkan, dalam aspek apa toleransi boleh dilaksanakan. Sejak kapan sebenarnya akar toleransi di dunia mewujud?
Secara historis, pengalaman toleransi beragama sudah ada sejak lama. Rahmad Asril Pohan (2014: 70) menyebut terbentuknya negara Madinah merupakan berkah dari kegagalan Nabi Muhammad dalam mengembangkan agama Islam di Mekkah. Sebagai komunitas minoritas di Mekkah, Islam tidak bisa berkembang dengan baik. Rintangan dan ranjau dari pemuka Quraisy di sana membuat Islam sulit melebarkan sayap dakwah. Hijrah yang dilakukan Muhammad SAW ke Madinah menjadi langkah maju bagi perkembangan islam. Dukungan moral dan politik yang diberikan kepada Muhammad ketika di Madinah dari kelompok suku Aus dan Khazraj memperlihatkan kesuksesan hijrah yang dilakukan Muhammad.
Kesuksesan tersebut dilanjutkan dengan sambutan positif dari suku-suku Yahudi dan sekutunya di Madinah. Sehingga melahirkan Piagam Madinah, konstitusi tertulis yang diklaim sebagai yang pertama di dunia. Di sana disebutkan bahwa Muhammad merupakan pemimpin tertinggi, yang sekaligus mengkonfirmasinya sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Dengan Piagam Madinah, Muhammad berhasil mempersatukan berbagai komunitas agama dan suku dalam kesepakatan. Tujuan utamanya untuk mengorganisir agar tercipta ketertiban bersama.
Prinsip kebebasan beragama yang tercantum dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah/2: 256 dirumuskan ulang dalam bentuk yang lebih konkrit, yakni yang tercantum dalam pasal ke-25 Piagam Madinah. Pasal tersebut berbunyi, “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islam pun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau aniaya. Karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya sendiri.”
Pasal ini juga dikuatkan dengan pasal-pasal lain yang menyebutkan adanya persamaan hak dan perlakuan yang diterima oleh komunitas Yadudi, seperti Yahudi Bani Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al-Haris (pasal 27), Yahudi Bani Sa’idah (pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), dan Yahudi Bani al-Aus (pasal 30).
Menurut Rahmad Asril Pohan (Toleransi Inklusif: 2014), Muhammad dan umat Islam tidak pernah berperang dengan non-Islam berdasarkan alasan agama. Jika, toh terjadi peperangan disebabkan oleh gejolak politik karena adanya pengkhianatan atas perjanjian. Berpijak akar historis tersebut, penulis menilai bahwa prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam Madinah, utamanya yang terkait dengan aturan kerukunan antar umat beragama, bisa menjadi cermin bagi kerukunan umat beragama di Indonesia. Maka itu, semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menemukan relevansinya dengan semangat yang dikobarkan dengan terbitnya Piagam Madinah yang digawangi oleh Nabi Muhammad. [ed]
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.