Bagaimana representasi Islam di era globalisasi seperti sekarang ini? Apakah Islam yang berwatak keras yang dipropagandakan oleh—untuk sekadar menyebut contoh kekinian—Islamic State of Iraq Syuriah (ISIS) di Timur Tengah sana? Jika bukan, lantas bagaimana penggunaan simbol dan atribut yang melekat dan secara intens digunakan oleh meraka yang menghadirkan “wajah Islam”?
Lewat buku ini, Bassam Tibi, guru besar emeritus bidang Hubungan Internasional di Universitas Gottingen, Jerman mengajukan polemik mengesankan. Tibi mengelaborasi secara kritis-analitik kecenderungan latah atas penggunaan terma islam dan islamisme ke dalam satu pemahaman. Padahal menurutnya, dua istilah tersebut memiliki intensi berbeda sehingga akan melahirkan pemahaman berbeda pula.
Polemik diskursif yang dipaparkan Bassam Tibi hasil terjemahan dari Islamism and Islam yang diterbitkan Yale University Press pada 2012 ini menyajikan wacana yang menantang. Pria kelahiran Damaskus pada 1944 ini mengawali bukunya dengan bab “Mengapa Islamisme Bukanlah Islam”.
Tibi mengajukan pertanyaan mendasar: apa perbedaan antara Islamisme dan Islam? Ia berargumentasi meski Islamisme berkait dengan tatanan politik—dan bukan persoalan keimanan—namun, Islamisme bukan mencakup politik an sich. Cakupan politiknya adalah “politik yang diagamaisasikan”. Kerangka agamaisasi politik ini yang menjadi titik tolak dan titik pacu pembahasan.
Bassam Tibi tidak menampik terdapat kesamaan di antara kedua istilah Islam dan Islamisme. Islamisme merupakan sebentuk respons politik budaya atas kegagalan pembanguan masyarakat Islam pascakolonial. Kredo utamanya bertumpu pada konsep din-wa-daulah. Konsepsi itu mencanangkan kesatuan antara agama dan negara.
Pembedaan antara Islam dan Islamisme, menurut Bassam Tibi (hal 13-14 dan hal 304), akan melahirkan setidaknya tiga kelompok yang akan bersikukuh menolaknya. Kelompok pertama datang dari para Islamis sendiri, yang mana akan menentang gagasan deferensiatif tersebut. Pasalnya, gagasan satu Islam yang mereka usung ditelanjangi secara fulgar. Dengan membiarkan pemisahan Islam dan Islamisme, hajat politik mereka akan semakin jauh panggang dari api. Oleh karenanya, sebisa mungkin diskursus itu ditolak.
Kelompok kedua adalah orang-orang di Barat yang keliru mempercayai Islamisme adalah akibat logis dari agama Islam. Golongan ketiga merupakan orang-orang di Barat yang merangkul orang-orang Islamis berlabel “Muslim moderat”. Mereka datang dari berbagai kalangan di Barat dan—secara tidak langsung—membantu “mendukung” argumentasi teologis yang dikemukakan Islamis lewat berbagai macam sanjungan.
Ketiga kelompok tersebut dinilai tidak mampu secara jernih memahami apa sebenarnya Islamisme. Kerancuan dalam mengulik arti mendasar dari islamisme menjadikan diskursus ini menemui jalan rancu.
Bagi kalangan Islamis, tujuan utama dari gagasan mereka adalah mengubah tatanan dunia. Ambisi tersebut dicita-citakan karena mereka menilai tatanan dunia yang ada sekarang ini tidak ideal. Perdamaian Westphalia 1648, misalnya, bagi mereka dimasukkan dalam kategori sekuler. Sebagai gantinya, mereka menawarkan sebuah tatanan dunia baru yang “sakral”: sesuai konsep daulah Islamiyah dan hakimiyah Allah (pemerintahan Tuhan). Ini merupakan ciri pertama bagi kalangan untuk bisa dikaterikan sebagai kalangan Islamis.
Bassam Tibi menolak pandangan umum Barat yang mengatakan Islamisme (baca: Islam Politik) muncul belakangan, yakni ketika terjadi revolusi Syiah Khomeinis di Iran. Jauh sebelumnya, Tibi merujuk kemunculan Ikhwanul Muslimin pada 1928 sebagai embrio lahirnya apa yang kemudian disebut dengan “Islamisme”.
Sementara itu, ciri kedua untuk mengidentifikasi Islamisme—sekaligus sebagai implikasi dari yang pertama—adalah tentang persepsi adanya persaingan atas tatanan dunia. Bassam Tibi menjabarkan bahwa tengah terjadi dua pertentangan dua arus besar. Tibi menjelaskan bahwa kalangan Islamis menempatkan orang-orang Yahudi sebagai “musuh kosmik”. Dalam konteks pergerakan Ikhwanul Muslimin, yang berdiri pada 1928 memandang dirinya melakukan konfrontasi dengan cara berperang melawan “konspirasi Yahudi”.
Perang kosmik antara Islam dan Yahudi, dalam sejarah versi Islamis, dipandang dimulai ketika pemerintahan pada 622 dibentuk. Orang Yahudi dinilai berperan dalam menentang pendirian negara yang disebut sebagai “negara Islam” pertama di Madinah oleh Nabi Muhammad. Dan kini, Islam dipandang tengah dalam situasi yang hampir sama: yakni dalam kepungan konspirasi Yahudi. Maka, tak heran jika kerap kali muncul wacana yang mempertentangkan di antara keduanya.
Argumentasi menarik dikemukakan oleh Bassam Tibi. Selama ini, fenomena kekerasan atas nama agama kerapkali dihubungkan dengan globalisasi. Dalam era ini, pertukaran informasi dan gagasan semakin riuh-rendah. Globalisasi telah membuka kran perdebatan tak berujung sehingga melahirkan skeptisisme baru.
Namun, bagi Tibi, menyalahkan globalisasi sebagai biang keladi merupakan sebuah kekeliruan. Ia adalah sebentuk upaya defensif untuk memobilisasi gerakan revolusioner. Dalam narasi identitas, islamisme memperuncing konflik identitas dengan identitas yang lain. Menggunakan narasi islamisme yang monolitik memperunyam relasi dengan ide-ide plurasme global dan perdamaian demokratis.
Dalam bab delapan Islamisme dan Totalitarianisme, Bassam Tibi menghentak pembaca dengan menyatakan bahwa Islamisme merupakan sebentuk totalitarianisme baru. Hal tersebut sejalan dengan narasi besar yang sedang dibentuk oleh kalangan Islamis yang tidak mengenal diskursus moderatisme—meskipun mereka mendaku cukup akomodatif. Islam kompatibel dengan demokrasi, sedangkan Islamisme mengkhianatinya dengan cara hidup di dalamnya seperti bungklon: mengingkari demokrasi, tetapi memanfaatkannya untuk meraih tujuannya mewujudkan “Islamisme totaliter”. Apakah Anda setuju?
AHMAD KHOTIM MUZAKKA, Dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pekalongan.
Tulisan ini tayang pertama kali di Koran Tempo.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.