Sejak peristiwa World Trade Center pada 11 September 2001, Islam menjadi “kambing hitam” dalam narasi terorisme global. Islam tersudutkan karena kerap dipersepsikan mendorong orang melakukan anarkisme. Kekerasan atas nama agama, tak pelak, sering dilekatkan pada Islam, yang pada akhirnya melahirkan Islamophobia di sejumlah negara Barat.
Judul : Al-Quran Bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran
Penulis : Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag.
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tebal : 284 halaman
Terbit : pertama, Februari 2016
Narasi Islamophobia tersebut membuat identitas keagamaan (islam) mendapatkan tantangannya dalam abad modern ini. Apalagi melihat konflik yang terus berkecamuk di Timur Tengah, dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan ideologi ultra-radikalnya.
Buku karya Imam Taufiq berjudul Al-Quran Bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran ini memberikan perspektif damai yang terekam dalam kitab suci umat Islam. Upaya yang dilakukan Taufiq bisa dilihat sebagai ikhtiar melawan ideologi ultra-radikal yang terus dipropagandakan Islam garis keras.
Dengan memfokuskan pada lema perdamaian, penulis buku ini hendak mewartakan kepada khalayak bahwa pesan-pesan damai tercantum dalam kitab yang menjadi mukjizat Nabi Muhammad Saw. Ia menelisik lema dalam Al-Quran menggunakan metode tafsir maudhu’i. Jenis tafsir ini mengklasifikasikan ayat-ayat berdasarkan suatu tema.
Buku ini menjadi semacam guide bagi siapa pun yang ingin mengetahui konstruksi damai dalam Al-Quran. Diharapkan dapat menambah wawasan keagamaan yang tidak menjadikan “yang lain” sebagai musuh. Lantaran sudah mendapatkan pencerahan intelektual berupa narasi mengenai perdamaian yang terangkum di dalamnya.
Damai itu fitrah
Pada dasarnya, menurut Imam Taufiq, manusia dilambari fitrah damai dalam dirinya. Hal tersebut didasarkan pada sebuah kisah penciptaan nabi Adam. Menurutnya, nabi Adam diciptakan dengan dasar cinta. Cinta pula yang membuat manusia memiliki cinta kasih dan cenderung berbuat damai, hal 55.
Dulu, penciptaan manusia ditentang oleh para malaikat. Mereka khawatir karena manusia akan menciptakan kerusakan di muka bumi. Penolakan malaikat tersebut berbeda dengan pembelaan Allah terhadap manusia dengan mengatakan, “Sungguh! Aku mengetahui segala hal yang tidak kalian ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Dosen Tafsir Al-Quran yang sekaligus menjabat Wakil Rektor II di UIN Walisongo ini menjelaskan bahwa hal yang tidak diketahui oleh malaikat adalah mengenai unsur yang dimiliki manusia. Menurutnya, disamping tersusun dari unsur tanah, manusia memiliki roh. Roh bermula dari unsur ketuhanan yang bertentangan dengan unsur tanah yang material.
Dialektika di antara keduanya mengaktifkan nalar guna memilah baik dan buruk. Oleh karena itu, fitrah manusia adalah menyukai kedamaian, alih-alih kekerasan. Jika terjadi penyimpangan diindikasikan telah terkontaminasi dari faktor-faktor eksternal. Peran akal mampu menuntun manusia memutuskan segala sesuatu yang positif atau negatif, hal 68-69.
Dalam buku ini, Imam Taufiq menyuguhkan dua pembagian perdamaian Qurani. Secara prinsipil, perdamaian Qurani mengolaborasikan tiga elemen Islam, iman, dan ihsan. Ketiga hal tersebut disinergikan sedemikian rupa untuk mendapatkan performa terbaik dari apa yang disebut sebagai perdamaian Qurani, hal 75.
Pertama, perdamaian Qurani dalam keluarga. Dalam kategori yang pertama, penulis kembali membaginya ke dalam dua jenis, yaitu perdamaian Qurani antara suami-istri dan perdamaian Qurani dalam waris. Kedua aspek tadi merupakan fondasi utama terbentuknya kategori kedua yang memiliki spektrum lebih luas, yakni perdamaian Qurani dalam masyarakat.
Untuk kategori kedua, di antaranya, meliputi perdamaian Qurani antarkomunitas, perdamaian Qurani dalam ranah politik, dan perdamaian Qurani dalam ranah sosial-ekonomi.
Contoh konkrit perdamaian Qurani antarkomunitas adalah ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah bersama dengan para sahabatnya dengan jumlah yang besar. Mendengar kabar itu, para pemuka Quraisy, yang dulu mencaci serta menyakiti Nabi merasa mendapatkan ancaman. Tak pelak, mereka kalang kabut karena telah merasa “kalah” sebelum berperang dikarenakan kalah dalam jumlah, hal 183.
Salah satu pemuka Quraisy yang takut dengan kabar kedatangan Nabi itu yaitu Shafwan bin Umaiyah. Mendengar kabar kegelisan Shafwan tadi, Nabi lantas mengutus Umair bin Wahab untuk mewartakan kepada Shafwan bahwa Nabi akan melindunginya. Setelah disampaikan pesan tersebut tidak menjadikan Shafwan merasa aman dan justru mempertanyakan kesahihan perkataan Umair perihal jaminan keamanan yang akan diberikan Nabi.
Merasa tidak puas dengan bukti serban Nabi yang diberikan kepada Umair sebagai bukti jaminan keselamatan dari Nabi, Shafwan kemudian menemui Nabi langsung dan mempertanyakannya. Mendengar pertanyaan soal keselamatan diri Shafwan, Nabi membenarkan apa yang dikatakan Umair. Ia mendapatkan garansi keselamatan dari Nabi.
Beliau menjamin keselamatan bagi orang-orang yang, dulunya, pernah menyakiti Nabi. Laku damai Nabi tersebut sekaligus sebagai pertanda upaya memutus api permusuhan yang telah membakar Jazirah Arab yang telah berlangsung selama 20 tahun.
Dalam hal interaksi umat beragama, Nabi juga mengajarkan arti penting toleransi. Nabi pernah menerima kunjungan 60 orang tokoh Nasrani Najran. Sesampai mereka di Madinah, Nabi mengizinkan mereka mempergunakan masjid sebagai tempat untuk menjalankan kebaktian. Sikap tersebut menandai sikap inklusif Nabi sebagai pemimpin agama, satu contoh bagaimana mengajarkan berinteraksi dengan cara damai, bukan dengan cara kekerasan dan konfrontatif.
Discussion about this post