Islam adalah agama yang menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang sangat istimewa. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa keterangan yang terdapat dalam sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis.
Dalam Islam, kedua sumber pokok ajaran ini tidak hanya diyakini sebagai panduan atau petunjuk dalam kehidupan beragama tetapi juga sebuah landasan inspirasi dalam membangun kemampuan literasi umat Islam. Pentingnya literasi dalam Islam dapat dibuktikan dengan wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai perintah untuk membaca (iqra’).
Iqra juga dapat diartikan dengan ”mengkaji”. Dalam surat yang sama pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa dengan pena, al-qalam, Allah mengajar manusia bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam, dalam proses belajar mengajar dalam arti yang luas. (Mas’ud, 2002: 23). Dari satu surat ini saja betapa jelas bahwa Islam menempatkan literasi pada posisi yang sangat penting.
Literasi sendiri dapat dipahami sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian terentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari (Wikipedia).
Secara etimologis, ”literasi” berasal dari bahasa latin ”literatus” yang berarti orang yang belajar. Namun terdapat bebarapa pengertian lain yang berkembang yang intinya bahwa literasi tidk hanya sebatas kemampuan baca tulis saja tapi juga kemampuan menggunakan semua potensi dan juga skill yang dimilikinya.
Namun secara umum, beberapa pengertian yang ada tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Kemampuan seseorang dalam mendengarkan, berkomunikasi, membaca dan menuangkan gagasan dalam tulisan, merupakan kemapuan dasar dalam literasi dan kemampuan itu semua menjadi dasar untuk mencapai puncak kemampuan lierasi yaitu kemampuan ”memahami”.
Bagi umat Islam, pentingnya gerakan literasi ini semestinya disadari betul, kerena fakta-fakta historis yang ada banyak menjelaskan kepada kita semua. Sejarah mencatat, bahwa kegiatan belajar mengajar sudah dilakukan pada masa Nabi. Kepedulian beliau terhadap proses pembelajaran (terutama baca tulis) bisa dilihat segera, sebagai contoh, setelah kemenangan kaum muslim dalam perang Badar pada tahun 624, ketika beliau meminta beberapa tawanan yang terdidik untuk mengajar menulis anak-anak Madinah.
Beliau juga mengangkat beberapa sahabat untuk menjadi guru, seperti ’Ubaida ibn al-Samit yang ditunjuk menjadi pengajar di sekolah Suffa di kota Madinah untuk pelajaran menulis dan studi al-Qur’an. Suffa atau Zilla (dengan panggung tinggi serta atap) adalah satu bagian dari masjid yang dibangun oleh Nabi di Madinah dan disediakan sebagai tempat pendidikan, khususnya untuk belajar membaca, menulis, menghapal al-Qur’an, dan tajwid. (Mas’ud, 2002: 68).
Dalam konteks ini, Rasulullah juga sangat menganjurkan umatnya untuk belajar bahasa, tidak hanya bahasa ibunya tapi juga bahasa asing. Seperti yang dikemukakan oleh Musthofa Muhammad dalam bukunya ”At-Tarbiyah wa Dauruha fi Tasykiili as-Suluk”. Beliau menyatakan bahwa salah satu teknik Nabi dalam mengajar adalah menyajikan bahasa asing sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran dan juga berdakwah. Mustofa mengutip salah satu hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi yang intinya bahwa Zaid bin Tsabit diminta Rasulullah untuk belajar bahasa orang-orang Yahudi. (Muhmmad Mustofa, 2006:209).
Namun dalam riwayat lain Rasulullah memerintahkannya untuk mempelajari bahasa Suryani. Pada perkembangan sejarah, Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar inspirasi literasi para ulama muslim selanjutnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kedua sumber tersebut menjadi pokok ajaran dalam berbagai disiplin ilmu yang ditulis para ulama. Kegiatan literasi tulis ini melahirkan banyak kitab dengan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu tauhid, fiqh, akhlaq dan lain sebagainya.
Dalam konteks saat ini, gerakan literasi menjadi penting dan harus terus disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat. Hal ini dikarenakan, kegiatan leterasi adalah hak setiap orang untuk terus belajar dan berkarya di sepanjang hidupnya. Degan terpenuhinya kemampuan literasi sosial ini diharapkan kualitas hidup masyarakat semakin baik. Kualitas hidup tentunya tidak hanya menyangkut peningkatan kesejahteraan secara ekonomis tapi juga peningkatan kemampuan dalam bernalar dan berinteraksi sosial.
Dengan kemampuan literasi yang memadai, masyarakat diharapkan mampu berpikir jernih, memahami akar persoalan secara komprehensif, bersikap toleran, tidak bersikap arogan, dan yang terpenting adalah mentaaati aturan-aturan agama dan sosial untuk keteraturan hidup manusia secara keseluruhan.
Semoga Bermanfaat
Wallahu ‘Alam
Wiradesa, 30 April 2020
Referensi:
Mustofa Muhammad (2006) At-Tarbiyah wa Dauruha fi Tasykil as-Suluk. Beirut: dar al-Ma’rifah
Abdurrahman Mas’ud (2002) Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam.Yogyakarta: Gama Media
Wikipedia
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.