Buku karya dewan pendiri dan wakil ketua Nahdlatul Ulama cabang Amerika dan Kanada ini menjelma sebuah alarm. Tidak sekadar menjadi penanda suatu peristiwa, buku ini mengajak pembaca untuk bernostalgia dengan rekam jejak yang pernah ditorehkan Nahdlatul Ulama. Sisi historis dikemukakan Sumanto dengan nuansa nostalgik. Bagaimana sejarah NU bermula dari akar pemikiran para kiai yang resah dengan pergerakan Islam yang berada pada stadium mengkhawatirkan. Perkembangan Islam yang tidak me-Nusantara menjadi bagian penting pertimbangan berdirinya organisasi keagamaan ini. Organisasi yang lahir pada 1926 silam ini berpijak pada tradisi pemikiran keislaman Sunni. Suatu hal yang telah mengakar dalam kognisi para kiai.
Judul : Nahdlatul Ulama, dari Politik Kekuasaan dan Pemikiran Keagamaan
Penulis : Sumanto Al Qurtuby
Penerbit : Elsa, Semarang
Terbit : April 2014
Tebal : 243 halaman
Bagi Sumanto, corak ke-Sunni-an NU dikarenakan banyak pendiri NU berguru pada ulama Sunni di Makkah. Di samping juga pengaruh dari tradisi pesantren yang sudah berkembang di Jawa dalam jangka waktu yang lama. Pesantren merupakan embrio berdirinya NU. Pesantren hadir jauh sebelum gagasan tentang NU ada. Sumanto pun tak ragu mengatakan riwayat dan identitas NU akan berakhir dengan sendirinya jika hubungan dengan pesantren terputus. Itu sama saja memutus historisitas dan akar kultural yang dimiliki. Oleh karenanya, sangat wajar dan rasional apabila NU kemudian “berjenis kelamin” Sunni (hal 71-73).
Dalam bab Gagasan Dasar Keagamaan NU, Sumanto menjelaskan relasi Aswaja dan NU. Aswaja sendiri akan dibagi ke dalam dua aspek. Pertama, Aswaja sebagai doktrin dan metode berfikir. Kedua, pokok-pokok ajaran Aswaja NU yang meliputi teologi (aqidah), hukum Islam (fiqih), mistisisme (tasawuf) dan masalah sosial-politik, hal 86. Dalam perdebatan ini, bagi Sumanto, kelahiran Aswaja tidak bisa lepas dari dinamika politik Dinasti Abbasiyah yang berusaha menjaga status quo dari oposisi, hal 90. Hal ini seolah memberikan penegasan bahwa, sejatinya, eksistensi NU—yang di dalamnya tersemat semangat Aswaja—tersambung dengan gagasan politik di masa lalu.
Penulis yang pernah menjadi Profesor tamu di Unibersity of Notre Dame ini mengulik masa lalu yang pelik. Tak berhenti di situ, sebagai orang dalam dalam tubuh NU, Sumanto tak segan-segan melontarkan kritik tajam terhadap organisasi Islam terbesar di dunia ini. Misalnya ketika membicarakan masa lalu NU. Sumanto menilai, NU berperan dalam pembantaian PKI yang didukung oleh ABRI. Di masa itu, antara NU dan ABRI memiliki kesamaan pandangan. Yakni, tidak ingin melihat PKI menjadi partai yang besar sehingga bisa mengganggu kepentingan keduanya, (hal 32). Posisi yang diambil oleh Sumanto ini, di satu sisi memang menghadirkan nuansa akademis. Ketidakseganannya meluncurkan kritik pedas itu jadi bukti sahih.
Lihat juga pemaparan Sumanto ketika mengisahkan kembali kengototan golongan muda NU yang menuntut “pengganyangan” PKI, (hal 34). Sementara di kalangan NU-tua masih merasa sungkan dengan Soekarno yang memiliki hubungan spesial dengan PKI. Dari sini pula, istilah “Nasakom” muncul. Itu merupakan bentuk sindiran yang dialamatkan kepada Kiai Wahab sebagai representasi golongan NU-tua.
Dalam bernegara sikap NU tegas. NU mendukung negara atau sistem pemerintahan yang memelihara prinsip musyawarah, keadilan, kebebasan, kedaulatan, persamaan, dan toleransi. Dalam diskursus kemanusaiaan NU juga mengobarkan ushul al-khams, yakni menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga (kebebasan) beragama (hifdz al-din), menjaga harta (hifdz al-mal), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), menjaga harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan dan kedudukan warga negara (hifdz al-irdh). Selain lima hal di atas juga perlu menjaga kebebasan berfikir dan menge¬luarkan pendapat (hifdz al-aql), hal 113.
Tidak berhenti sampai di situ, Sumanto juga mengkritik tradisi taklid dalam mengkaji persoalan kontemporer. Menurutnya, taklid dalam NU terus eksis karena NU hanya mendasarkan pemikiran hukum pada teks-teks verbal fuqaha (aqwal al-fuqaha). Sementara itu, metodologi yang dipakai para ahli (manhaj al-fuqoha) tidak begitu menjadi perhatian penting, hal 126. Hal ini pula yang menyebabkan cap kolot, konservatif, tradisional sampai kini masih tersemat. Meskipun, pada tataran praktisnya, NU memberkan sumbangsih pemikiran pada bangsa seperti dalam hal perbankan, pajak, asuransi, ideologi Pancasila, dan gagasan Keluarga Berencana, 127.
Salah satu kritik Sumanto terhadap NU adalah ketika merespon isu kontemporer di Munas Alim Ulama NU pada 25-28 Juli 2002. Pembahasan tentang money politic, hutang negara, dan korupsi tidak didiskusikan lantaran Kitab Kuning—sebagai rujukan utama NU—tidak memuat permasalahan tersebut, 139. Padahal, fiqih merupakan sesuatu yang profan, terbatas dan kondisional. Diperlukan keberanian untuk melakukan dobrakan intelektual untuk melewati produk hukum yang lawas. Sehingga label yang diberikan John Burton (1990) atas fiqh sebagai Islamic science dan Islamic legal science bisa lebih teraplikasi dengan baik. Upaya sakralisasi fiqih justru menunjukkan perilaku yang ahistoris.
Sumanto juga mengajak mengkritisi kebijakan TKI, buruh mi¬gran, kaum miskin kota (seperti gelandangan) dan kelom¬pok proletariat, pengentasan kemiskinan, rehabilitasi pengungsi, dan advokasi korban pelanggaran HAM. Semuanya belum terumuskan dalam kajian Kitab Kuning secara spesifik (hal, 172-173) serta wacana pluralisme yang tidak mendapatkan istimewa di forum Bahtsul Masa’il di Lirboyo, Kediri pada 1999, (hal 181-182).
Lewat buku terbarunya ini, Sumanto mengajak pembaca melirik kembali akar historisias NU sembari tidak melupakan kritik terhadap lembaga tersebut. Bagaimana pun, eksistensi NU—baik personal maupun struktural—sangat berkecambah di negeri ini. Jika tidak mengetahui seluk beluknya secara komprehensif bisa jadi nanti salah dalam melakukan tindakan dalam merespons permasalahan keseharian hingga kenegaraan. [ed]
Discussion about this post