Beberapa bulan lalu, tepatnya hari kedua lebaran atau ketiga, saya diajak sowan Pak Lek Abu Sujak ke guru-guru di Rembang, yang salah satu tujuan utamanya adalah sowan ke ndalem Simbah KH. Maimoen Zubair. Kita tahu siapa beliau. Semua orang tahu beliau, ulama besar.
Tanpa babibu, tatitu, saya mengiyakan ajakan itu. Sekira jam 6 pagi hari itu, meski beberapa hari sebelum lebaran sempat jatuh dari motor dan lecet di beberapa titik badan, saya beranikan diri menawari Bapak saya, apakah mau ikut ke ndalem mBah Moen atau gak.
Seperti yang saya duga sebelumnya, Bapak saya antusias sekali. Tanpa banyak pertimbangan, Bapak mengiyakan. Bahkan memberikan penekanan bahwa “sangat mau” alias kepingin banget. Mendengar itu, saya memberanikan diri untuk membonceng Bapak, meski badan saya belum 100% fit betul. Di bagian-bagian siku lecet dan masih senut2, apalagi pas dibuat bergerak yang menyiku terlalu sering. Pikir saya, karena naik motor, maka senut2 itu tidak akan begitu terasa sakitnya. Hanya, di beberapa titik yang jalannya rusak, siku seperti mau copot saja karena getaran motor.
Pada hari H, sebagaiman kita sepakati, kita berkumpul di rumah Kiai Riyanto, guru semasa di MTs Maguan. Kebetulan rumahnya satu desa dengan rumah kakek dan nenek, di desa Maguan. Desa penuh kenangan kala remaja. Selama tiga tahun, saya “mondok” di rumah mBah, mbah Ahmad Rifai. Mondok dalam artian pindah tempat tidur karena lokasi sekolah hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumah mBah. Selama tiga tahun itu juga, saya ngaji sehabis maghrib bareng sahabat-sahabat kecil saya di sana.
Banyak sekali kenangan. Banyak. Umpet2 di langgar habis ngaji, dan masih banyak lagi kenangan masa kecil yang belum terdistorsi oleh gadget seperti sekarang ini.
Cukup. Nanti malah ngelantur.
Baca juga: Pelajaran Nasionalisme Kiai Maimoen
Kembali ke topik utama. Sesampai di kediaman kiai Riyanto, dan berbincang-bincang menukar kehangatan, kita berbegas menstarter motor masing-masing. Saya membonceng Bapak, Lek Sujak membonceng Lek Mon, Hanif membonceng Kiai Riyanto, dan beberapa orang lagi yang saya lupa siapa saja. Seingat saya ada 6-7 boncengan motor.
Dari silaturahim ini, saya tertegun ketika Kiai Riyanto bertanya tentang saya, apa masih di Pekalongan. Mak deg, saya ternganga. Lama tidak bersua, beliau ternyata dari “jauh” memantau saya. Mungkin tahu saya di Pekalongan dari anaknya, Hanif Ma’ruf, adik kelas di dua madrasah yang sama, MTs Maguan dan YPRU Guyangan. Kiai Riyanto guru yang disiplin, alim, dan termasuk dituakan.
Sekira 2 jam perjalanan bermotor Batangan-Sarang, kami sampai di ndalem mbah Maimoen dalam kondisi yang membahagiakan. Kami sampai di sana dengan suasana yang gembira. Sebagaimana prediksi sebelumnya, akan banyak tamu yang sowan ke ndalem. Setelah menata motor masing-masing di halaman rumah-rumah warga samping pondok, kami menuju ndalem mbah Moen. Sejujurnya, itu adalah kali pertama saya sowan ke beliau. Setelah banyak tausiah beliau saya perdengarkan dari berbagai kanal, baru memiliki kesempatan saat itu.
Saya dan rombongan duduk di pelataran kediaman beliau sembari mendengarkan pesan-pesan dan tausiah beliau kepada para tamu yang diperdengarkan lewat speaker. Jadi, meskipun kami di luar masih bisa menyimak pesan-pesan mbah Maimoen. Sejauh ingatan saya dan sebaik pendengaran saya, mbah Moen, pada saat itu berpesan agar gejolak-gejolak pilpres disudahi. Beliau bersedih melihat banyak pertentangan gara2 pilpres 2019 kemarin itu. Sudah cukup, saatnya membangun Indonesia. Saatnya menjaga NKRI. Menguatkannya lagi. Begitu kurang-lebih yang dapat saya tangkap. Ngapunten kalau ada hal-hal yang kurang.
Dari sepenangkapan saya, pesan itu ibarat pesan kultural seorang Kiai yang bertitah kepada santri-santrinya. Semua santri. Agar meneruskan perjuangan. Membela bangsa dan agama.
Hal tersebut seirama dengan yang barusan ditulis oleh Kiai Ulil Abshar Abdalla. Bahwa, akhir-akhir ini yang dipesankan Mbah Moen kepada santri-santrinya adalah bagaimana mengumandankan “hubbul wathan min al-iman”. Oleh Kiai Ulil, hal tersebut diterjemahkan sebagai “wasiat akhir hayat”.
Setelah beberapa menit, rombongan yang lebih dulu hadir keluar silih berganti hingga akhirnya kami berkesempatan bertemu dan salim dengan mBah Moen. Ada semacam kehangatan yang saya rasakan. Meski itu adalah kesempatah pertama, dan sayangnya juga yang terakhir bisa sowan langsung.
Saya catat baik-baik pesan kesadaran kebangsaan mBah Moen dalam ingatan. Seolah memberikan penekanan yang lebih tentang pentingnya menjaga keutuhan bangsa. Karena momentumnya adalah momentum lebaran.
Selepas dari kediaman mbah Maimon, kami beserta rombongan menuju ke kediaman Habib Hasyim, Sedan, Rembang. Sesampai di kediaman beliau yang terletak di perkampungan desa, saya berjumpa dengan sahabat yang sudah sangat lama sekali tidak berjumpa sejak MTs, Didik namanya. Dia sudah “njagog” lesehan di rumah Habib Hasyim.
Sesampai di kediaman Bib Hasyim, begitu panggilan akrab beliau, saya hanya ndereaken dan menyimak perbincangan tetamu yang lebih dulu hadir di majlis. Kiai Riyanto, selaku ketua rombongan bertimpal perbincangan hangat dengan Bib Hasyim. Sampai pada titik percakapan mengenai mBah Moen.
Mbah Moen, tutur Bib Hasyim (saya narasikan sesuai ingatan dan pengetahuan saya), sekarang sudah sangat berbeda dibandingkan beberapa puluh tahun lalu ketika masih muda dulu. Beliau sudah kelihatan capek dan dari hari ke hari kelihatan mengecil (maksudnya agak kurusan, red). Bib Hasyim bercerita sempat duko (gak kerso, tahun 2018 menurut Kang Didik) ketika suatu ketika dimintai doa husnul khotimah oleh Mbah Maimoen. Masih menurut Kang Didik, pada kali terakhir Habib Hasyim sowan ke kediaman Mbah Moen (2019), Bib Hasyim baru berkenan mendoakan (mungkin, maksudnya sudah merelakan). Beliau menangis dan gak kuat berlama-lama memandang guru terkasihnya.
Bukan karena apa. Mungkin karena tawadlu kepada sang guru beliau tidak berkenan. Atau mungkin ketidakberkenannya Bib Hasyim karena belum mau ditinggalkan oleh mBah Maimoen. Bahkan, seingat saya, tutur habib Hasyim, mbah Maimoen sempat bersedih karena ketidaksediaan Habib Hasyim tersebut. Barangkali itulah ekspesi kecintaan yang sesungguhnya, karena tidak mau ditinggal pergi oleh sang kekasih. Dalam hal cinta, kadang memang memutus logika. Sesuatu yang bertentangan dengan nalar. Katanya Habib Hasyim, banyak orang yang kecewa mendengar jawaban beliau yang tidak mau mendoakan tadi. Apakah mungkin Bib hasyim tidak berkenan mendoakan beliau? Tentu saja tidak! Ya, saya memaknainya lebih dari ketidakrelaan seseorang ditinggal sang kekasih.
Hari ini, Selasa, 6 Agustus 2019, kita mendengar kabar yang membuat jagat langit menangis. Bahkan, kabarnya langit Makkah ikut menangisi kepergian beliau. Dunia telah kehilangan sosok penuntun umat, Indonesia kehilangan sosok sang kekasih hati. Mungkin, itu kesedihan yang tidak mau dirasakan oleh Habib Hasyim beberapa bulan yang lalu itu. Sebagaimana riwayat orang-orang alim, mungkin ini adalah salah satu tanda keistimewaan orang-orang alim, yang tahu sebelum winarah. Wallahu a’lam.
Lahu alfatihah.
Ahmad Khotim Muzakka,
Pekalongan-Jogjakarta, 6 Agustus 2019. (Ditulis dalam perjalanan di atas kereta Joglosemar).
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.