JIKA Anda berpikir bahwa kiwari ini makin banyak orang yang gemar mengafirkan orang lain karena berbeda keyakinan dan pandangan, baik itu dalam hal teologis maupun kebangsaan, barangkali itu merupakan fenomena gunung es.
Beberapa tahun silam, seorang kerabat berkeluh kesah tentang nasib keagamaan di Indonesia. Dia mengalami sesuatu yang agak nyeleneh. Seusai menunaikan salat Jumat di salah satu masjid di luar desa, dia mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Bekas lantai yang dia tempati dicuci warga setempat yang mengikuti jemaah. “Apakah saya najis, hingga harus dicuci bekas tempat saya sujud?” Begitu kira-kira pertanyaan yang dilemparkan kepada saya.
Ada sebagian umat Islam yang tidak menerima kehadiran entitas lain dengan tanpa kompromi. Tak bisa dimungkiri, bahkan seorang Gus Dur pun pernah mengalami hal serupa. Hal tersebut disampaikan ketika memberikan kata pengantar di buku Ilusi Negara Islam (2009). Menurut Gus Dur, dia kerap kali mendapatkan vonis takfir karena pemikirannya dianggap tidak sejalan dengan pemikiran kelompok-kelompok Islam garis keras. Bahkan, intelektual Islam Ulil Abshar Abdalla pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari sekelompok kalangan. Pada 2002, Gus Ulil divonis fatwa mati oleh Forum Ulama Umat Islam Indonesia (FUUI) karena pemikiran Ulil dianggap menghina Islam, bahkan pernah mendapatkan ancaman bom.
Abdurrahman Wahid, secara eksplisit menerangkan bahwa fenomena pengafiran diinisiasi kelompok-kelompok garis keras yang lahir dari rahim wahabisme dan Ikhwanul Muslimin. Gus Dur membedakan pendekatan keagamaan yang dilakukan dengan metode yang digunakan paham ahlussunnah wal jama’ah (Suni). Mereka tidak mampu memahami substansi ajaran agama Islam, sebagaimana yang dipahami para ulama dan pendiri bangsa. Keterbatasan kemampuan dalam memahami substansi agama menghantarkan mereka sehingga mudah untuk melontarkan kata kafir atau murtad kepada orang atau kelompok lain yang tidak mendukung agendanya (Wahid, 2009).
Takfirisme; conservative turn?
Meskipun tidak mendapatkan perlakuan secara verbal, yakni dikafirkan, tindakan tidak etis berupa mencuci bekas tempat sujud orang lain merupakan wujud ‘penghinaan’ terhadap ciptaan Allah. Ini merupakan bentuk kekerasan teologis yang mengkhawatirkan.
Wajah Islam Indonesia pascareformasi memang memperlihatkan penguatan identitas keislaman di ruang publik–yang muncul di berbagai sektor, di media, di pengajian, dan bahkan demonstrasi (Bagir, 2014); yang oleh Martin van Bruinessen disebut sebagai gejala conservative turn (van Bruinessen, 2014).
Bahwa masyarakat kita tengah mengalami dan berpotensi kembali menjadi konservatif. Pandangan keagamaan dan kenegaraannya mengesahkan hal tersebut. Justifikasi kekerasan yang dilakukan karena pembelaan terhadap agama, bahkan terhadap sesama muslim merupakan indikasi kuat bahwa infiltrasi gagasan kelompok-kelompok garis keras menggeliat dan menguat.
Sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memegang peran penting dalam percaturan diskursus keislaman. Tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 membuka keran kebebasan berekspresi. Tantangan terbesar dengan terbukanya akses informasi, salah satunya, melahirkan kelompok Islam garis keras yang menyerukan jihad dan aksi-aksi kekerasan. Kebebasan yang tidak mendapatkan tempat di Orde Baru.
Beberapa kisah yang saya sebutkan di atas mengonfirmasi keresahan telah terjadi gejala conservative turn. Keadaan semacam itu tentu sangat mengkhawatirkan masa depan relasi umat Islam dan relasi kebangsaan yang berkeindonesiaan, yang telah dibangun secara susah payah oleh para founding fathers. Tabiat menang sendiri dan memandang ‘yang lain’ sebagai entitas berbeda sehingga sah untuk diperlakukan tak layak, dibiarkan begitu saja. Sayangnya, perlakuan khusus tersebut dilakukan menggunakan kekerasan. Kekerasan di sini bukan semata perkara ragawi, melainkan juga kekerasan teologis.
Takfirisme merupakan cara pandang ekstrem yang membagi dunia menjadi dua; ‘kami’ dan ‘mereka’. Dalam doktrin ini, seseorang dapat dengan mudah menuduh orang lain kafir disebabkan tidak memiliki pemahaman yang sama. Vonis berpikir seperti ini yang kemudian mengesahkan seseorang untuk melakukan tindakan anarkisme, seperti penganiayaan, penjarahan, bahkan melakukan pembunuhan.
Ancaman penolakan negara
Para penganut paham takfirisme meyakini bahwa aksi kekerasan telah mendapatkan justifikasi dalam doktrin pembenaran dari agama. Hal tersebut disebabkan dari perspektif yang digunakan ketika mendefinisikan keimanan. Dalam doktrin yang umum, suatu kesalahan dalam beragama tidak otomatis diberi label murtad (apostate), tetapi mendapatkan dosa. Berbeda dengan itu, paham takfirisme tidak menolerir segala bentuk kesalahan dalam doktrin beragama. Mereka terjebak pada logika hitam putih dalam merumuskan hukum.
Eli Alscheh dalam The Doctrinal Crisis within the Salafi-Jihadi Ranks and the Emergence of Neo-Takfiris (2014) menjelaskan bahwa gejala takfirisme bahkan merambah dalam urusan yang sangat artifisial. Misalnya, seorang muslim yang mencukur jenggot dan meniru pakaian Barat dapat dikategorikan sebagai murtad (an apostate).
Lebih jauh, disebutkan bahwa barang siapa menerima dan menoleransi keberadaan kemurtadan (apostasy), secara otomatis mereka termasuk dalam golongan tersebut. Pemurtadan juga diberlakukan bagi mereka yang mengadopsi ideologi demokrasi. Ini merupakan turunan dari sikap yang ‘hitam putih’ dan sangat tertutup. Dalam konteks kebangsaan, sikap ini tentu berbahaya dan mesti mengaktifkan alarm kesadaran kita tentang bahaya kekerasan teologis yang tidak hanya menyasar ke pribadi, tapi juga merambat kepada urusan komunal.
Sikap pemurtadan tersebut karena didasarkan pada argumen bahwa boleh melakukan pemurtadan atau pengafiran terhadap semua orang yang ada di dalam satu komunitas tertentu; yang mana berbeda dengan konsep para salafi jihadi yang hanya membatasi diri pada pengafiran terhadap individu, bukan kelompok (Eli Alshech: 2014).
Maka itu, tidak mengherankan jika akhir-akhir ini banyak orang yang menolak demokrasi dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Alasannya ialah demokrasi dengan segala turunannya terbukti gagal menghantarkan peradaban manusia, bahkan terdapat individu-individu yang secara terbuka mengharamkan memberikan hormat pada bendera Merah Putih. Semua itu merupakan embrio munculnya pemikiran takfiri.
Pengafiran di Indonesia, yang tidak hanya ditujukan kepada personal, tapi juga organisasi dan negara, terus mengalami eskalasi. Kita perlu resah dan turun tangan untuk menanggulangi eskalasi pengafiran yang dimotori orang-orang tak bertanggung jawab. Kita mesti melawan mereka yang menolak Indonesia. Kewaspadaan yang telah dimulai Gus Dur mesti kita pikul bersama demi merawat nasib keberagamaan dan kebangsaan.
Ahmad Khotim Muzakka (Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Media Indonesia, 23 November 2019)
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.