Mendekati hari Iduladha atau hari raya kurban, muncul berbagai ajakan akan pentingnya berkurban. Sembari berdakwah, salah satu pihak yang mengajak juga menawarkan hewan kurban yang dimilikinya. Hewan yang ditawarkan bukan lagi hewan yang ada di sekitar masyarakat, namun yang ada di luar negeri. Sapi Yaman dan Sapi Palestina, Unta Timur Tengah, Kambing Yaman dan Suriah adalah salah satu contohnya. Tentu mereka juga menawarkan kambing dan sapi reguler, yang berasal dari Indonesia sendiri. Namun tawaran hewan reguler tidak semahal dan seutuh hewan yang berasal dari Timur Tengah. Sekilas bila melihat hewan kurban yang ditawarkan, seseorang mungkin akan merasa kagum bahwa hanya pengiklan yang paling benar sesuai dengan syariat Islam dalam berkurban. Pasalnya, hewan yang ditawarkan berasal langsung dari Timur Tengah, tempat di mana Islam lahir dan sekarang menjadi pusat Islam. Bahkan distribusi dagingnya juga ke daerah sana.
Jika dicermati, iklan tersebut secara tidak langsung mempunyai mafhum mukhalafah atau pemahaman yang kontradiktif terhadap realitas yang ada. Misalnya hewan yang selama ini disembelih masyarakat Indonesia kurang Islami atau tidak sesuai dengan hadis Rasulullah dan sunnah Timur Tengah. Apalagi jenis sapi dan kambing Indonesia, terlebih kerbau, tidak ada dalam sabda Rasulullah SAW dan tidak ada wujudnya di Timur Tengah. Oleh karena itu, tradisi penyembelihan hewan kurban yang menafikan sapi di Kudus serta Simbang Kulon Pekalongan seakan tidak masuk sabda Rasulullah, bahkan tidak ada tuntunannya. Yang lebih tepat dan sesuai dengan syariat adalah hewan yang langsung berasal dari Arab dan memang nyata ada di sana.
Pemahaman seperti itu biasanya menargetkan tradisi yang sudah lama berjalan serta menjadi propaganda bagi Arabisasi dan Islamisasi (versi mereka) tradisi yang ada di Indonesia. Mereka memandang hal-hal yang berbau Arab seperti bahasa, pakaian, istilah, budaya, daerah dan lainnya adalah yang paling baik, paling benar dan paling Islami. Faham Arab sebagai sesuatu yang superior (yang unggul) dan hal yang berbau Indonesia sebagai sesuatu yang inferior (yang lemah) adalah cara pandang kolonial yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan beliau sendiri mengakui keunggulan ilmu di negara Cina dan meninggalkan tradisi Mekkah yang menjadi tanah lahirnya. Di samping itu, ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat laju untanya sebagai wujud cinta tanah airnya.
Di samping superioritas Arab, iklan tersebut juga mengusung faham literal dalam berkurban. Faham literal adalah memahami apa adanya suatu teks, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi hadirnya suatu teks tersebut. Maka tidak heran bila yang ditawarkan adalah hewan-hewan yang ada di dalam teks saja, dan bahkan hanya ada di Arab saja seperti unta. Faham seperti ini juga tidak dicontohkan oleh ulama salaf yang menekankan pada faham kontekstual. Kerbau misalnya, adalah termasuk jenis sapi yang jinak yang boleh dikurbankan. Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syaikh Khathib al-Syarbini, Syaikh Sulaiman al-Jamal dan Syaikh Sulaiman al-Bujairami.
Superioritas Arab dan faham literal akan menyulitkan masyarakat dalam menjalankan agama. Bahkan kedua hal tersebut bisa jadi dianggap sebagai agama baru jika terus menerus diproduksi dan dipromosikan. Oleh karena itu, ulama di Nusantara ini menyesuaikan pemahaman agama dan bagaimana menjalankan agama dengan mudah sebagaimana pesan dakwah Rasulullah. Pesan tersebut antara lain memprioritaskan kemudahan dan kabar gembira daripada kesulitan dan kabar tidak bahagia. Pesan seperti ini jelas tidak akan didapatkan jika memaksakan superioritas Arab dan faham literal.
Misalnya masih banyak yang beragama Hindu di Kudus, yang menganggap sapi adalah hewan suci. Oleh karena itu, Sunan Kudus melarang umat Islam di sekitar Menara Kudus menyembelih sapi. Di samping itu, sapi adalah hewan transportasi logistik yang produktif untuk menarik gerobak, pedati atau dokar di Kudus. Sapi di sana juga digunakan sebagai penarik bajak sawah oleh para petani. Dengan demikian, sangat naif dan mahal jika sapi digunakan sebagai hewan kurban. Apalagi dagingnya juga lebih sedikit daripada kerbau. Jika saja Sunan Kudus pada waktu itu memaksakan sapi agar dikurbankan, karena superioritas Arab dan faham literal, maka yang ada di Kudus hanyalah kesulitan dan kabar tidak bahagia.
Apalagi hikmah dari berkurban bukanlah apakah hewan itu dari Arab atau didistribusikan ke sana, namun bagaimana masyarakat mau mengorbankan harta benda yang dimilikinya untuk orang lain, terlebih yang ada di sekitarnya. Juga tentang bagaimana seorang yang berkurban menyembelih perasaan hewani yang ada dalam dirinya dan keluarganya. Dengan hilangnya sifat hewani itu, yang tersisa hanya sifat kemanusiaan dan ketuhanan sebagaimana dimiliki orang shalih, wali, dan para Nabi Allah. Bukan munculnya sifat paling baik, paling Arab dan paling Islami dalam berkurban, apalagi menganggap tidak Islami orang lain yang tidak bisa berkurban.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.