Klarifikasi yang dilakukan oleh Ustadz Khalid Basalamah (detikcom, 29/5) terkait anjuran untuk tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya pada upacara bendera menguak kondisi pemahaman keagamaan sebagian masyarakat. Jika mau benar-benar jujur, munculnya pertanyaan dari sang penanya terkait kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya menyisakan kemuskilan tersendiri. Bahwa masih saja terdapat orang atau kelompok yang menyangsikan dan enggan berikrar atas berdirinya Indonesia.
Kenapa saya bisa berkesimpulan seperti itu? Menurut Anda, kenapa seorang anak sampai mempertanyakan aturan sekolah terkait tata cara upacara bendera dan enggan menyanyikan lagu kebangsaan? Apakah mungkin pertanyaan tersebut lahir dari pikiran yang kosong anak-anak? Ataukah memang cerminan penerimaan atas konsep kenegaraan sebagian dari kita, yang diajarkan oleh lingkungan di sekelilingnnya? Dalam arti, mereka (yang bertanya) masih diliputi keraguan terkait konsep negara beserta turunannya, termasuk di dalamnya mau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Jika demikian halnya, maka kita patut memberikan perhatian lebih pada peristiwa ini.
Keengganan ataupun penolakan yang dilakukan siswa atau orangtua tersebut tentu bukan karena dia malas dalam satu upacara saja. Jika memang begitu, saya kira dia tidak akan perlu untuk menanyakan di sebuah forum kajian agama yang dipimpin oleh seorang ustadz. Munculnya pertanyaan tersebut di forum pengajian mengkonfirmasi bahwa ada keresahan atas penerimaan segala bentuk ritual atau aktivitas yang, mungkin, dianggap tidak sesuai dengan pemahaman yang selama ini diajarkan di lingkungan tempat tinggalnya. Jika demikian, tidak mengherankan kalau pertanyaan semacam itu mengemuka.
Yang juga tidak kalah musykilnya adalah bagaimana Ustadz Khalid Basalamah merespons pertanyaan. Dia menganjurkan untuk mengganti lagu Indonesia Raya dengan melafalkan ayat suci Alquran. Jawaban ini menjadi problematik karena justru terkesan membenturkan urusan negara dan urusan agama. Seolah menyanyi Indonesia Raya tidak cukup penting, maka lebih dianjurkan melafalkan ayat-ayat suci. Problemnya adalah apakah jawaban seperti itu yang mestinya dilontarkan oleh pendakwah yang mengaku nasionalis?
Padahal, menyanyikan lagu Indonesia Raya pada upacara merupakan momen sakral untuk meneguhkan semangat keindonesiaan dan mempertebal kesadaran kebangsaan. Jika kemudian digantikan dengan sakralitas yang lain (dalam bentuk mendaras ayat suci), lantas kapan anak-anak bisa mengingat kesadaran kebangsaan secara periodik dan kultural? Padahal, mengaji toh bisa dilakukan di lain kesempatan. Pada titik ini, saya melihat terdapat kegagapan dalam memahami falsafah kebudayaan yang, antara lain, tercermin dalam penghayatan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Mengakui Kebudayaan Nasional
Selama kita abai terhadap orisinalitas kebudayaan nasional, selama itu pula kita sulit menerjemahkan falsafah Pancasila dalam kehidupan yang faktual. Dengan menghayati elemen kebudayaan nasional bisa menjadi pintu pembuka tentang tantangan ke depan mengenai pembumian Pancasila di kehidupan masyarakat yang menghadapi tantangan terjal dan menikung. Apa pasal? Karena dengan tidak mengetahui nilai faktual dari sebuah kebudayaan kita bisa terjerumus pada syak-wasangka yang tak berdasar, yang mana bertolak belakang dari persepktif Pancasila yang berkebudayaan.
Hal tersebut tercermin dari tulisan Michel Picard, Agama, Adat, and Pancasila, sebuah pengantar yang termaktub dalam buku Politics of Religion in Indonesia (2011). Picard mendedah problem krusial yang melatarbelakangi wacana diskursif tentang pengakuan agama di Indonesia dan melambungkan pertanyaan tentang peluang implementasi tafsir Pancasila pada fase pasca-Reformasi.
Menurut Picard, muara dari problem politik agama di Indonesia bermula dari bagaimana pengakuan atas agama-agama sehingga mengklasifikasikan agama yang diakui (the recognized religions) –Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Protestan, Islam, kemudian penghayat kepercayaan.
Pada awalnya, yang mencuat ke publik adalah bagaimana mendefinisikan agama dalam konteks Indonesia, yang mana memiliki banyak ekspresi keagamaan yang tidak tunggal, yang berbeda antara satu dengan yang lain. Penerjemahan agama untuk mewakili kata religion sendiri merupakan upaya akomodasi karena kata agama dinilai paling mendekati makna dari religion.
Bentuk akomodasi ini tercermin dari bagaimana agama didefinisikan, bahwa agama yang benar adalah yang memiliki unsur-unsur berikut ini: wahyu yang diturunkan kepada Nabi yang tertulis dalam kitab suci, adanya sistem hukum bagi penganut, memiliki ritual penyembahan, dan percaya pada Ke-Esa-an Tuhan. Oleh karena itu, terma agama merupakan bentuk kontestasi antara banyak aktor kebudayaan yang juga melibatkan berbagai bentuk akomodasi.
Pada perkembangannya, menurut Picard, agama tidak hanya memisahkan dari aspek hukum, tapi juga aspek tradisi, yang mana merupakan unsur utama dalam Sanskrit. Hal tersebut berkesesuaian dengan pemaknaan tradisi yang dilekatkan dengan adat, bentukan kata bahasa Arab yang secara umum diterjemahkan dengan kebiasaan.
Pemisahan adat dan agama kemudian terjadi karena perbedaan perspektif. Labelisasi atau agamaisasi adat/tradisi dalam membentuk polanya sendiri. Pemisahan tersebut semakin terlihat ketika praktik tradisional digolongkan dalam kategori adat, bukan agama. Ritual-ritual keagamaan yang tidak didasarkan pada teks agama berupa wahyu, kemudian disebut dengan indigeneous religions.
Bisa dikatakan bahwa munculnya keengganan menyanyikan lagu Indonesia Raya bisa jadi merupakan sebentuk ekspresi dikotomis antara yang disebut sebagai tuntunan agama dan produk kebudayaan tersebut. Hal ini menjelaskan antara yang dinilai agamis dan non-agama. Pada level tertentu, pemahaman ini cukup mengkhawatirkan karena kesadaran berbangsa dihadapkan dengan doktrin agama, meskipun pada kasus ini tidak bisa diperhadapkan antara satu dengan yang lain. Namun, tetap saja, terlihat adanya upaya hierarkisasi antara agama dan budaya.
Konsolidasi kebangsaan berupa Pancasila menjadi rawan teramputasi jika kita membiarkan penolakan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam momen upacara bendera yang mestinya sakral itu. Hal itu terlihat sepele karena hanya muncul dari satu-dua orang, namun jika dilakukan secara masif kita akan kelabakan sendiri.
Tulisan ini pertama kali terbit di Detik.COm
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.