Tahun 2014 bisa dicatat sebagai ujian cukup berat bagi narasi keberagamaan di Indonesia. Pasalnya, selama pemilihan presiden yang dimenangkan Jokowi tersebut, gosip dan isu-isu berbau SARA bertebaran tak berhingga. Sehingga mengancam harmonisme masyarakat Indonesia yang multikultur. Tak hanya itu, kasus penolakan Front Pembela Islam (FPI) atas pelantikan Basuki Thahja Purnama atau “Ahok” sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo merupakan tamsil riil bahwa mendemonstrasikan semangat toleransi masih harus terus digelorakan.
Kita tidak bisa serta merta melepaskan tanggungjawab atas masa depan toleransi bangsa ini. Kewaspadaan terhadap kesadaran bertoleransi bisa menjaga nasib bangsa secara keseluruhan. Iklim yang harmonis akan meningkatkan segala potensi yang dimiliki oleh setiap individu tanpa mengedepankan ras dan agama sebagai tembok penghalang.
Warisan Gus Dur
Dari sekian catatan, satu hal yang cukup melegakan dari kontestasi politik pemilihan presiden beberapa waktu lalu adalah bagaimana salam menjadi penanda kesadaran multikultur. Penggunaan pelbagai bentuk salam dari beberapa tradisi agama mengukuhkan fakta keberagaman yang kerap dinegasikan. Ini bisa menjadi modal berharga untuk merekatkan nafas kebangsaan. Tak sekadar itu, salam multikultur sekaligus menguatkan sendi-sendi bangsa yang terkoyak oleh isu-isu berbau ras selama masa kampanye presiden yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan Joko “Jokowi” Widodo-JK ini.
Meski prosentasenya sangat kecil, sejak digelar kampanye politik pemilihan presiden hingga kini ada kecenderungan “menggembirakan” terkait dengan kesadaran multikultur. Tak lain adalah bagaimana para politikus mengucapkan salam pembukaan dalam sebuah acara. Menggunakan berbagai salam dalam berbagai tradisi keagamaan bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan ataupun penghargaan terhadap eksistensi minoritas.
Baik Jokowi ataupun Prabowo menggunakan salam multikultur dalam pelbagai kesempatan. Ini terlihat ketika debat calon presiden berlangsung. Dalam acara yang dihadiri, Prabowo sering mengucapkan berbagai macam salam dari pelbagai tradisi keagamaan. Mulai dari penggunaan salam dengan bahasa Arab (Assalamu ‘alaikum) hingga salam dengan bahasa Sansekerta (om swastiastu). Hal yang sama juga dilakukan oleh presiden terpilih Jokowi dalam satu kesempatan di acara debat kandidat beberapa waktu silam.
Hal itu menyuntikkan kesadaran baru bagi kita, terutama bagi mereka yang asing dan mengasingkan diri terhadap fakta bahwa terdapat komunitas lain yang memang eksis di Indonesia. Dulu, mungkin kita sangat asing dengan ucapan tersebut. Jika dirunut agak jauh, Abdurrahman Wahid pernah menginisiasi penggunaan salam dengan bahasa yang khas Indonesia. Mantan Presiden RI-4 tersebut mengajak lebih menghargai budaya adi luhung yang asli Indonesia daripada mengadopsi tradisi yang datang dari luar.
Gus Dur menyarankan kepada kita agar muslim Indonesia tidak menjadikan Arab sebagai pusat kebudayaan atau lebih menitik-beratkan pada “pribumisasi Islam”.Contoh sederhananya, ketika mengucapkan salam. Di Indonesia, ucapan salam dalam bahasa Arab Assalamu ‘alaikum bisa digantikan dengan “selamat pagi”, “selamat siang”, dan lain sebagainya. Gus Dur juga mengkiritik kecenderungan orang-orang yang memilih kata-kata akhi untuk saudara, umi untuk ibu, dan lain sebagainya.
Ini merupakan langkah cerdas yang diwariskan Gus Dur dengan kesadaran ber-Islam yang me-nusantara. Tanpa kesadaran penuh tentang itu, kita bisa saja terjebak dalam lumpur perdebatan tentang ini. Untungnya, cucu Kyai Wahid Hasyim ini meninggalkan jejak pemikiran yang bisa dicerna dengan sederhana, namun memberikan kesan yang mendalam.
Apa yang kemudian menjadi lumrah sekarang ini, dengan mengucapkan pelbagai bentuk salam dalam berbagai tradisi bisa disebut sebagai buah pemikiran tersebut. Estafet pemikiran ini mestinya disambut dengan suka cita oleh kita semua. Penghargaan terhadap “yang lain” dengan berlandaskan kesadaran penuh atas fakta Indonesia yang multikulur bisa menguatkan kita sebagai bangsa dan negara.
Nasionalisme otentik
Laku tersebut menambah kepercayaan diri kita menyongsong masa depan bangsa. Lewat salam yang beragam, manusia Indonesia bisa memupuk nasionalisme yang otentik. Kesadaran berbangsa semacam ini mengenalkan kultur berbeda, sehingga pondasi kebangsaan bisa berdiri lebih kokoh. Hal ini, sejalan dengan pemikiran Nurcholish Madjid (2004: 32-33), bisa menggantikan paham “nasionalisme kuno” dengan “nasionalisme modern”. Jika nasionalisme kuno berasaskan faham kesukuan dan tribalisme, maka nasionalisme modern mengedepankan harmonisme antar golongan.
Nah, di sinilah relevansi politik salam multikultur berlaku. Ia dilihat sebagai sesuatu yang sakral sekaligus profan. Sakralitas yang dimaksud di sini adalah bahwa setiap agama memiliki symbol kebudayaannya sendiri, yang mana mampu menjadi jembatan manusia untuk mengenalkan profanitasnya kepada yang lain. Ia juga menjadi semacam alat untuk mencairkan kebekuan ritual-ritual agama yang tidak bisa ditembus. Salam multikultur, dengan begitu, ditempatkan bukan sebagai ritual sakral, melainkan penerjemahan bahasa manusia yang unik dan khas.
Diharapkan nantinya harmoni di antara pemeluk agama akan lebih terjalin erat. Pengenalan kebudayaan bukan barang instan yang cukup diajarkan dalam sekali sentuh. Ia membutuhkan waktu lama agar mampu diserap secara komprehensif oleh manusia, sang penerima dan pencipta kebudayaan. Sinergi kebudayaan antar agama dapat dimaksimalkan sebagai gerbang untuk lebih membuka diri atas fakta keberagaman di Indonesia. Dengan begitu, kabut yang menutup pandangan atas “yang lain” dapat dibukan lahan-perlahan.
Kesadaran bertoleransi, dengan demikian, bisa digali dari hal yang sederhana. Jika kesadaran multikultur terlebih dulu tertanam di benak kesadaran masyarakat, maka akan lebih mudah menanamkan semangat toleransi. Namun, sebagai catatan, kesadaran multikultur tersebut tentu tidak cukup hanya menjadi simbol dalam pembukaan acara saja. Perlu tindakan dan kebijakan politik yang bisa memperkuat sehingga tidak terkesan sebagai pelumas bibir belaka.
Kedepan, diharapkan terjadi hubungan harmonis antar agama yang tak sekadar simbolik. Namun menekankan pada penjagaan terhadap marwah kemanusiaan agar tidak terjadi diskriminasi, intoleransi yang berujung perpecahan, dan mengancam keutuhan NKRI yang majemuk.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.