Dari sisi kesejarahan, agama sering dihadapkan pada realitas yang cukup paradoks, misalnya agama mengajarkan tentang perdamaian, tetapi di sisi yang lain agama juga menyerukan perang dan kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dalam agama, sering tercampakkan melalui adanya serangkaian aksi-aksi kekerasan.
Dalam Islam misalnya, perang atas nama agama juga seringkali terjadi. Sudah tidak terhitung berapa banyak darah berjatuhan akibat perang atas nama agama ini. Kita bisa melihat, bagaimana tiga dari empat Khalifah Rasyidin menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh sesama Muslim, yakni Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Semua itu dilakukan atas nama agama dan hukum Tuhan.
Kasus terbunuhnya Khalifah Rasyidin di atas hanyalah contoh kecil, di mana konflik dan kekerasan seringkali menjadi mekanisme penyelesaian masalah di kalangan internal umat Islam. Setiap periodesasi dalam sejarah Islam juga tidak pernah lepas dari aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Khususnya ketika agama dan politik menjadi suatu kekuatan untuk melegitimasi suatu ketetapan hukum.
Sebagai contoh, ketika Wahabisme di era awal pembentukannya berkoalisi dengan penguasa (baca: Muhammad Saud), ketika itu doktrin Wahabi dipaksakan kepada segenap umat Islam di Saudi Arabia, mereka yang menolak doktrin baru ini dibunuh atau dihabisi begitu saja. Prinsip mereka hanya satu, menjalankan hukum Tuhan tanpa perlu mempertimbangkan konteks dan kondisi kultural masyarakat.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah, mengapa sejarah agama-agama selalu diwarnai dengan kekerasan? Mengapa para penganut agama-agama harus berkonflik akibat perbedaan pemahaman agama? Dalam menjawab pertanyaan ini, tentu tak sekedar hitam dan putih. Kita perlu melacak akar genealogis terhadap nalar berpikir orang-orang yang beragama.
Harond Ellens (2007), sebagaimana dikutip oleh Masdar Hilmy, mengungkapkan bahwa setiap kekerasan yang berlatar agama dapat dilacak pada unsur destruktif (merusak) yang dimiliki oleh hampir setiap agama, hal ini bukan berarti agama itu merusak, tetapi setiap komunitas agama sering terjatuh pada pandangan kosmologis Manikean yang membelah realitas menjadi dua kutub yang saling berhadapan; yakni kebenaran versus kebathilan.
Dalam terminologi filsafat, dua kutub yang saling berhadapan itu bisa disebut sebagai ‘nalar dialektika-dikotomis’. Artinya, para penganut agama cenderung memahami agamanya secara benar dan yang lain salah. Jika pandangan ini terlampau ekstrem dan intoleran, maka penganutnya mudah terjatuh pada paradigma takfiri, yakni saling mengkafir-kafirkan atau menyalahkan keyakinan lain. Bibit-bibit kekerasan itu dapat dilacak melalui nalar dialektika-dikotomis ini, di mana para penganut agama mengklaim sepihak atas kebenaran agamanya.
Akar dari dua kutub yang berhadapan ini sebenarnya berasal dari kredo agama-agama Samawi yang membelah manusia menjadi dua kutub yang saling berlawanan (baca: oposisi biner). Misalnya suci-najis, benar-salah, putih-hitam, terang-gelap, dan lain sebagainya. Hal ini berakibat pada kesadaran kosmos di mana para penganut agama dipenuhi oleh bayang-bayang untuk meneguhkan dirinya sendiri dan menghabisi pihak lain yang posisinya berseberangan.
Dalam tradisi Islam, dan mungkin juga terjadi dalam tradisi agama-agama lain, bahwa mereka yang selama ini dianggap berhaluan keras (fundamentalisme) sering mengambarkan dirinya sendiri sebagai yang paling murni dari bid’ah-bid’ah, paling suci dan lain semacamnya. Mereka melakukan klaim kebenaran secara keras dan pihak-pihak lain harus mengikutinya. Jika tidak, berarti pihak lain dianggap menyatakan perang dan wajib untuk diperangi.
Cara pandang semacam ini sebenarnya lumrah terjadi di hampir setiap tradisi agama-agama. Mereka memiliki pandangan yang Manikean (hitam-putih) bukan hanya dalam konteks cara mereka memahami teks-teks agama, tetapi ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi cara beragama mereka menjadi lebih militan dan ekstrem, misalnya penolakannya terhadap sekularisme dan demokrasi modern. Bila nalar berkeislaman mereka dibiarkan, mereka akan semakin militan dan mudah terjatuh pada terorisme, pada titik inilah gerakan mereka menjadi sangat berbahaya.
Lalu bagaimana cara mengatasi sikap keberagamaan semacam ini? Bagaimana pula cara mengatasi agamaisasi kekerasan? Sebentuk keberagamaan yang menggunakan kekerasan sebagai jalan perjuangannya. Yang jelas, membayangkan agama tanpa kekerasan adalah semacam ketidakmungkinan. Seperti halnya ketakmungkinan membayangkan dunia tanpa kekerasan.
Karen Armstrong (2015) sendiri mengafirmasi bahwa semua agama pasti bersentuhan dengan kekerasan. Lebih tegas lagi, bila kita membaca sejarah agama-agama yang ada di dunia ini, hampir tidak ada yang terbebas dari kekerasan. Bahkan agama yang sangat mengidealkan keseimbangan kosmis, seperti Buddha, atau mengidealkan cinta kasih seperti Kristen, atau mengidealkan keadilan seperti Islam, semuanya pernah bergelimang dengan darah.
Malahan, banyak yang berkeyakinan bahwa kekerasan itu sendiri merupakan bagian dari agama. Agama-agama monoteis (baca: Samawi) tampaknya paling banyak memiliki sejarah berdarah, ketimbang agama-agama non-monoteis. Khususnya perseteruan antara Islam dan Kristen.
Fakta tentang kekerasan atas nama agama di atas juga seringkali dibarengi dengan adanya suatu pernyataan bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Pernyataan ini sering terdengar, terlebih ketika banyak kasus terjadi terkait dengan fenomena agamaisasi kekerasan. Paling tidak, ini dapat membantu orang-orang yang bingung dan bertanya-tanya tentang mengapa orang beragama melakukan kekerasan.
Jika agama dipertautkan antara Tuhan dan manusia, maka jelas agama diciptakan untuk manusia dan seluruh kemaslahatannya, bukan untuk Tuhan, sebab Tuhan tidak beragama dan tidak butuh agama. Sejatinya, agama haruslah membawa damai dan menjauhkan diri dari kekerasan. Namun sayangnya, agama tak pernah bisa lepas dari unsur-unsur kekerasan.
Nur Ichwan (2018) mengatakan bahwa ada lima sebab mengapa agama tak bisa lepas dari kekerasan; yakni karena dalam agama ada ajaran tentang pengorbanan, agama selalu mengasumsikan logika baik-buruk dan benar-salah, adanya dakwah dan ekspansi agama yang tidak jarang juga dilakukan dengan kekerasan, adanya kitab suci yang terkadang mengandung pernyataan membolehkan kekerasan, dan hampir selalu ada individu dan kelompok dalam agama yang berpaham radikal dan membolehkan kekerasan.
Namun demikian, prinsip perdamaian tetaplah yang paling utama dan inti dari perdamaian adalah humanisasi, yakni memandang dan memperlakukan manusia sebagai manusia, khususnya dalam konteks Islam. Bukan malah memandang rendah orang yang berbeda paham sampai mengatakan lebih rendah dari binatang.
Kritik terhadap agamaisasi kekerasan haruslah dimulai dari prinsip teologi perdamaian. Dengan asumsi bahwa perdamaian adalah sesuatu yang sakral dan memang harus disakralkan. Prinsip dasar dari teologi perdamaian ini bisa dilihat melalui salah satu asma Allah, al-Salam (Maha Damai). Kata salam sebetulnya satu akar kata dengan Islam, yakni penyerahan diri dan silm dalam arti damai tanpa ada konflik.
Adanya prinsip bahwa Allah adalah Maha Damai secara hermeneutika atau penafsiran harus mengedepankan perdamaian. Demikian juga implementasi dari penafsiran itu harus mengutamakan dan menciptakan damai di bumi. Logos (nalar) yang damai akan melahirkan interpretasi yang damai, yang pada gilirannya mewujud dalam tindakan damai pula.
Selain itu, perdamaian juga harus didasari oleh kasih sayang, sebagaimana asma Allah ar-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahim (Maha Penyayang). Manusia harus dipandang sebagai manusia dan keberadaan manusia itu mulia satu sama lain, sebab manusia telah dimuliakan oleh Allah,….dan benar-benar telah kami muliakan anak cucu adam (QS. Al-Isra’ 17:70).
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.