Tiap 30 Desember, kita diingatkan dengan sosok pejuang keberagaman di Indonesia. Kontribusinya terhadap kemanusiaan merupakan sumbangsih besar bagi tumbuh-kembangnya kesetaraan, baik dalam lingkup ras, agama, dan suku. Dulu, kita melekatkan predikat pahlawan bagi mereka yang merelakan darahnya tertumpah demi tanah air dan meregang nyawa karenanya. Kini, di zaman yang katanya telah merdeka, kita barangkali sepakat untuk memberikan anugerah gelar tersebut kepada Bapak Pluralisme: Abdurrahman Wahid (1940-2009).
Kepulangannya 2009 silam meninggalkan luka mendalam. Tidak hanya pada mereka yang memiliki latar belakang santri dan muslim saja, mengingat Gus Dur adalah sosok yang lahir dari rahim keluarga santri dan tumbuh di lingkungan santri. Namun, juga mereka yang berbeda keyakinan. Hal ini tidak lain karena semasa hidup Gus Dur menjadi salah satu pejuang kemerdekaan bagi siapa pun untuk berkeyakinan sesuai yang dipercayai. Peran semacam ini, yang kemudian, menumbuhkan rasa cinta dari semua kalangan.
Salah satu terobosan yang dibuat Gus Dur adalah ketika komunitas Tionghoa diakui sebagai agama di Indonesia. Adalah mencabut Inpres No. 14 Th 1967 yang dikeluarkan Orde Baru. Inpres ini berisi pelarangan apapun bentuk ekspresi keagamaan orang Tionghoa di muka umum. Peraturan diskriminatif itu diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Th 2000, yang mana menjadikan tahun baru Imlek menjadi hari libur nasioanl sebagaimana hari raya agama-agama lain di Indonesia. Oleh sebagian kalangan, langkah itu dinilai kontroversial. Tapi, Gus Dur memiliki perspektif lain memandangnya. Kebebasan, sebagaimana diatur juga dalam UUD 45, merupakan hak segala bangsa. Maka, segala bentuk pengekangan tidak boleh dibiarkan berkepanjangan.
Tak heran jika kemudian ia begitu dicintai dan kepergiaannya ditangisi oleh semua orang. Perjuangannya membela minoritas seperti Ahmadiyah juga memperlihatkan kegigihan Gus Dur memperjuangkan asas-asas pluralisme sebagai pondasi bangsa ini. Kesadaran atas kemajemukan bangsa Indonesia membuatnya tahan banting berjuang. Hal ini menandaskan bahwa pembelaannya tidak terbatas pada tataran teoritis yang ia dengungkan, namun juga menyentuh hal-hal prinsipil di lapangan. Sehingga menghasilkan kebijakan negara yang implementatif. Regulasi yang dibuat Gus Dur tentu saja mempengaruhi dinamika keagamaan di Indonesia. Setidaknya membuka kran yang luas bagi kebebasan (diskursus) ke(ber)agamaan.
Apa selanjutnya?
Lalu, apa yang bisa kita lakukan selanjutnya? Dalam basis ideologis, sangat tepat jika kita mereproduksi gagasan besar Gus Dur mengenai prinsip keberagamaan di Indonesia. Gagasan Gus Dur mengenai “pribumisasi Islam” sangat kontekstual untuk terus dikumandangkan. Pribumisasi Islam berarti seorang muslim secara sadar mengakui bahwa kemuslimannya bukan lantas meniru segala hal yang datang dari Arab, di mana Islam muncul dari sana. Sehingga tidak terjadi adopsi kebudayaan yang tak perlu, seperti cara berpakaian yang terkesan Arab, cara memanggil yang memakai istilah arab, dan lain sebagainya.
Kontektualisasi ini sangat berpengaruh pada konstruksi berpikir. Diharapkan dapat menyeleksi apa yang menjadi prinsipil dan mana yang hanya artifisial dan temporal. Berbekal paradigma semacam ini, nalar berpikir manusia Indonesia tidak semestinya arab-sentris, yang menempatkannya sebagai pusat kebudayaan. Ia seharusnya diposisikan sebagai inspirasi untuk menggali lebih dalam lagi potensi-potensi nilai-nilai lokal yang ada di Indonesia.
Dalam kacamata Moh. Dahlan dalam Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur (2013: 81), yang menjadikan wawasan Gus Dur luas, di mana menggabungkan basis keislaman dan fakta ke-indonesiaan, karena ia mengubah orientasi yang “teosentris-ideologis” menjadi “antroposentris-pluralis”.
Menurutnya, yang menjadi tujuan jihad Gus Dur tidak terbatas untuk membentuk maqasid al-syar’i (tujuan pembentuk hukum fiqih), tapi lebih pada implementasi tujuan baik yang dialamatkan kepada manusia (maqasid al-nas). Apa yang dulu pernah dilontarkan Gus Dur bahwa “Tuhan tidak perlu dibela” menemukan kontekstualisasinya. Bahwa manusialah, tanpa memandang suku, agama, dan ras, yang perlu mendapatkan perhatian dan pembelaan yang sebenarnya. Diskriminasi tidak boleh terjadi.
Memperingati kepulangan Gus Dur, refleksi semacam ini yang perlu terus didengungkan. Agar perjuangannya semasa hidup tidak ditelan kelalaian kita memandang Indonesia yang majemuk. Kesadaran atas keberbedaan ini bisa menumbuhkan optimisme melihat Indonesia di masa mendatang.
Negeri yang, semoga, dijauhkan dari upaya-upaya separatis yang menegasikan orang lain atas nama ras, suku, dan agama. Negeri yang baldatun tayyibatun, negeri yang baik-damai-sentosa bagi semua. Indonesia yang makmur, Indonesia yang subur, Indonesia yang dipenuhi dengan orang-orang yang pandai bersyukur dan memaknai berkah pluralitas. Apakah kita siap memikul narasi ke(ber)agamaan yang sudah diperjuangkan Gus Dur? Kita lihat saja.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.