Suara-suara minor namun lantang yang menyuarakan pendirian negara Islam (baca: khilafah) terus bergelora. Menolak eksistensi negara Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan salah satu indikator utamanya. Jika tak diimbangi dengan narasi yang memukul mundur, bisa jadi beberapa tahun ke depan maka hal tersebut tidak mustahil untuk bakal terwujud.
Kekhawatiran itu wajar jika kita menilik isu yang selama ini didengungkan oleh para jihadis-radikalis. Mereka berkeyakinan bahwa negara Indonesia tidak berjalan dalam koridor yang telah ditentukan. Sistem demokrasi dinilai tidak sejalan dengan asas Islam. Maka itu, bagi mereka, tidak sepantasnya sistem tersebut terus dijalankan di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini.
Bagi kaum radikal (Abdul Munir Mulkhan: 2013) menjadi pegawai pemerintah dalam sistem negara-bangsa (nation-state) atau demokrasi diklaim sebagai taghut. Istilah taghut disematkan bagi mereka yang tidak mengindahkan peraturan dari Tuhan secara literal alias text oriented. Dengan begitu, para aparatur negara dari lingkup tertinggi hingga terendah juga menyandang pemerintahan taghut. Karena, secara kelembagaan, Indonesia tidak menyandarkan pada teks agama, melainkan Undang-undang buatan manusia. Oleh kerena itu, mereka layak ditentang eksistensinya.
Seperti sudah saya paparkan sebelumnya, itu karena para jihadis berkeyakinan bahwa Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan mereka. Bagi kalangan ini, sistem terbaik yang pantas—dan sekarang ini mereka perjuangkan—adalah sistem khilafah. Dalam sistem ini semua aturan yang berlaku harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis, yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabtnya di masa silam. Dua panduan itu, bagi mereka, secara komplit menghimpun “semua jawaban” atas problematika hidup di zaman modern ini. Singkat kata, jika Indonesia menerapkan sistem khilafah maka tatanan kehidupan masyarakat bangsa akan menjadi baik secara otomatis. Sebuah pandangan simplistis-ahistoris.
Landasan pikir seperti itu mengesahkan mereka untuk meneror, melakukan tindak kekerasan, terhadap segala bentuk pemerintahan dan turunannya. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, polisi, dan lain sebagainya. Akibat turunannya lebih parah lagi karena juga menghalalkan aksi pencurian, pengrusakan asalkan didasarkan pada pembelaan terhadap nama Tuhan.
Padangan semacam ini (Mulkhan: 2013), pada akhirnya melegalkan para aktivisnya untuk melakukan aksi kekerasan. Asumsi yang mengatakan bahwa kebenaran ajaran Islam yang menyediakan segala macam jawaban atas problematika hidup manusia di muka bumi perlu dikoreksi lebih lanjut. Karena, tidak bisa dipungkiri, perubahan telah terjadi sangat kencang.
Menjaga Indonesia
Kuatnya islam garis keras memperjuangkan ideologi mereka bisa dilihat sebagai suatu cita-cita “yang tertunda”. Menurut mereka, dengan tegaknya Islam secara formal, Tuhan akan merasa senang. Padahal, sebagaimana pernah diungkapkan Abdurrahmad Wahid “Tuhan tidak perlu dibela”. Justru, yang membutuhkan pembelaan adalah manusia itu sendiri.
Kengototan mendirikan negara islam Indonesia (Ilusi Negara Islam, 2010) disinyalir hanya semata manuver politik yang ujung-ujungnya adalah persoalan kekuasaan. Kalau demikian halnya, apa bedanya perjuangan tersebut dengan perebutan yang saat ini juga diperebutkan oleh partai-partai politik lainnya, baik partai nasionalis-sekuler atau Islam sekalipun. Toh, ujung-ujungnya adalah kekuasan. Bedanya, barangkali, yang satu dibumbui cita-cita masa lalu yang bertabur kegemilangan. Yang lain, lebih berpijak pada masa kini yang riil. Klaim “atas nama agama”, dengan demikian, menjadi mentah dan tidak berdasar.
Dalam konteks negara-bangsa, menarik menyimak apa yang diutarakan oleh Ernest Renant. Menurutnya (Kholis Setiawan: 2012) identifikasi pemersatu bangsa bukan lagi terletak pada bahasa atau suku yang sama. Lebih dari itu, Ernest menekankan pada pencapaian yang pernah diperoleh di masa lampau untuk kemudian ditransformasikan serta diproyeksikan sebagai cita-cita di masa mendatang.
Dalam konteks ini, tentu kita tidak akan pernah lupa bagaimana keberhasilan segenap pendahulu bangsa menyepakati dihapusnya tujuh kata dalam “Piagam Jakarta”. Dihapusnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” merupakan wujud pencapaian cemerlang di masa silam. Sebuah gagasan revolusioner mengakomodir keberagaman yang sudah menjadi niscaya. Yang, pada akhirnya, menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final. Walhasil, semangat menggelora mengusung khilafah di Indonesia seperti bangsa yang kehilangan masa lalu.
Seturut dengan itu, serangkaian aksi radikalisme mengatasnamakan agama yang hendak membetot dari cita-cita luhur itu merupakan salah satu bentuk kemunduran dan sekaligus pengkhianatan atas masa lalu Indonesia yang telah menyatukan kepentingan bersama. Aksi radikalisme mesti diantisipasi sebagai bentuk perlawanan dari dalam. Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara, harus terus dijaga. [ed]
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.