Pemikiran intelektual Muhammad Arkoun dilatar-belakangi oleh dua peradaban, yakni Islam dan Barat, lalu membentuk sebuah sinergi intelektual yang sangat tipikal. Sejak awal ia sudah berdialektika dengan khazanah pemikiran Islam klasik, dan pada periode selanjutnya dengan khazanah pemikiran Barat, klasik maupun kontemporer. Praktis bisa dikatakan, Arkoun merupakan salah satu dari sedikit intelektual Muslim yang langsung terjun ke dalam wacana pemikiran postmodernisme.
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Keadaan itulah yang menghadapkan sejak masa mudanya pada tiga bahasa: Kabilia – merupakan salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara sejak zaman pra-Islam dan pra-Womawi –, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama Hijriah, dan bahasa Prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 sampai 1962.
Pendidikan Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa asalnya, kemudian belajar sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Dari tahun 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir. Kemudian, di tengah perang pembebasan Aljazair dari Prancis (berlangsung dari tahun 1954 sampai dengan 1962), ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris.
Namun, bidang utama studi dan penelitiannya tidak berubah: bahasa dan sastra Arab dan pemikiran-pemikiran Islam. Pada tahun 1961 ia menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor sastra pada tahun 1969 dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etika Miskawaih.
Muhammad Arkoun adalah salah seorang dari sejumlah kecil ilmuan sosial Muslim yang dengan penuh semangat menganjurkan untuk mempelajari kebudayaan dan peradaban Islam dengan memanfaatkan dan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul ke pentas keilmuan pada abad ke-19 dan 20. Sebuah metodologi keilmuan yang belum sempat terpikirkan, apalagi sampai dirumuskan, oleh para cerdik pandai dan para ulama Islam klasik, era skolastik, bahkan modern sekalipun.
Menuju Pembelajaran Antropologi Agama
Menurut Arkoun, setidaknya ada empat pendekatan yang patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam era sekarang khususnya dan studi agama pada umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan Sejarah, Antropologi, Sosiologi, dan Bahasa.
Nantinya, keempat pendekatan ini menjadi senjata pamungkas Arkoun untuk menyusun ulang paradigma pemikiran Islam yang lebih komprehensif dan aktual. Pada titik inilah, perspektif pembelajaran antopologi agama mendapat posisi penting di antara berbagai pendekatan lain yang dipakai Arkoun untuk mengkaji pemikiran keislaman secara luas.
Dalam kitab Aina Huwa al-Fikr al-Islam al-Muasir, Arkoun mengatakan bahwa antropologi agama adalah pengkajian terhadap setiap agama pada setiap masyarakat manusia untuk membandingkan hal-hal di antara mereka dan menarik dan menarik bagian-bagian yang sama serta memahami sisi penggunaan spiritual manusia dibalik setiap kekhususan yang terbatas pada suatu suku bangsa atau agama.
Maka jika manusia masih terkungkung pada suatu agama, maka dia tidak akan mengerti fenomena keagamaan pada dimensi-dimensi antropologinya. Dan yang dimaksud dengan fenomena antropologi agama adalah ciri khusus yang membedakan jenis manusia dari lainnya dan yang kita temui dalam bentuk-bentuk yang bermacam-macam pada setiap masyarakat manusia. Dan manfaat ilmu antropologi adalah untuk memperluas pandangan sampai pada titik terjauh dengan jalan membandingkan antara berbagai peradaban manusia.
Menurut Arkoun, ilmu antropologi merupakan satu-satunya ilmu yang mampu membebaskan kita dari kendala-kendala pemikiran yang menyerupai keyakinan-keyakinan tradisional atau ajaran-ajaran dasar ideologi. Maksudnya, setiap produk pemikiran tradisional pasti terselip di dalamnya sifat ideologis yang akan menjerembab seseorang pada sikap dogmatis dan fanatik. Agar seseorang dapat terhindar dari sikap fanatik yang umumnya berdampak pada menyempitan makna dan pandangan, maka pembelajaran antropologi ini menjadi sangat penting.
Pembelajaran antropologi agama ini juga dimaksudkan sebagai ganti dari pembahasan tentang keagamaan yang selama ini hanya berputar-putar pada persoalan penyucian, ketuhanan, akal mitos, sejarah, dan seterusnya. Seolah-oleh pembahasan ini merupakan kecenderungan esensial yang tidak berubah dan semata-mata diciptakan untuk melayani wacana-wacana keagamaan, teologis dan hukum. Dampak terburuknya, agama akan menjadi sangat sempit dan sederhana. Untuk itu, kata Arkoun, dibutuhkan keutamaan ilmu-ilmu sosial modern untuk membongkar belenggu pemahaman keagamaan yang hanya berkisar pada masalah teologi dan hukum semata.
Dengan demikian, antropologi agama berusaha membahas warisan yang ditinggalkan oleh agama melalui para penganutnya dan bagaimana mereka hidup dalam pengalaman keagamaannya. Antropologi jenis ini berusaha menggeser masalah-masalah dan pengetahuan-pengetahuan menuju bidang yang lebih luas secara terus-menerus, dan lebih beraneka ragam, yang secara khusus berkaitan dengan hasil-hasil peradaban. Dalam arti lain, antropologi agama dimaksudkan untuk membebaskan pembelajaran agama yang murni tradisionalis yang bukan saja tidak produktif, tetapi juga menjadi bahaya.
Di antara keistimewaan pendekatan antropologis adalah bahwa ia menyertakan kemajuan-kemajuan berbagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat-masyarakat yang lebih beraneka untuk memahami mekanisme rumit maupun unsur-unsur tetap yang ada di balik perbedaan-perbedaan superfisial yang dijadikan pegangan oleh deskripsi etnografi, sejarah atau sosiologi.
Dengan begitu, antropologi agama bermaksud menelusuri berbagai praktik keagamaan yang beraneka ragam dalam suatu komunitas masyarakat. Ini juga dapat menjustifikasi bahwa fenomena keagamaan tidaklah bersifat monolotik dan a-historis. Dalam pengalaman masyarakat, agama selalu saja bersifat plural dan tunduk pada berbagai fenomena kesejarahan.
Perlu ditegaskan bahwa antropologi agama yang dimaksud Arkoun bukanlah sebidang ilmu yang bersifat monolitik, atau dalam bahasa Amin Abdullah bercorak monodisiplin. Antropologi agama di sini bersifat integralistik dengan berbagai ilmu sosial lainnya. Dalam pengkajian antropologis terhadap fenomena keagamaan, peneliti dituntut juga untuk mengkajinya dalam berbagai perspektif.
Karena antropologi agama ini berkaitan dengan fenomena praktik keagamaan, maka di dalamnya pasti membutuhkan aspek ilmu sejarah, sosiologi, linguistik, filsafat, dan lain sebagainya. Sehingga ilmu antropologi agama ini boleh dibilang sebagai disiplin keilmuan yang bercorak multidisiplin yang mengintegrasikan berbagai bidang keilmuan sosial di dalamnya.
Misalnya, Arkoun mencontohkan tentang hubungan antara filsafat dan antropologi. Kedua bidang ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di satu sisi, antropologi agama membebaskan seseorang dari keterikatannya terhadap nilai-nilai yang terbatas pada satu agama, perjalanan kesejarahan tunggal dan menurut (pandangan) satu kelompok.
Sementara di sisi lain, filsafat dapat membebaskan seseorang dari pandangan-pandangan metafisis dan, untuk selanjutnya, dapat memasuki bidang-bidang baru sehingga mau berdialog dengan setiap ilmu yang memungkinkan mengungkap rahasia realitas. Dengan demikian, kata Arkoun, sesungguhnya pengajaran filsafat dan antropologi kebudayaan – termasuk di dalamnya antropologi agama – merupakan dua hal yang tidak terpisah.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.