Membahas tiga agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam), Waryono Abdul Ghafur, dosen tafsir UIN Sunan Kalijaga ini menghadirkan diskursus mengesankan ihwal dialektika agama-agama para Nabi ini.
Judul : Persaudaraan Agama-agama, Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan
Penulis : Waryono Abdul Ghofur
Penerbit : Mizan
Tebal : 274 halaman
Terbit : pertama, November 2016
Apa yang dimaksud dengan persaudaraan agama-agama Abrahamik? Bagaimana Yahudi, Kristen, dan Islam menempatkan Ibrahim dalam epistimologi teologisnya? Setidaknya, beberapa pertanyaan itulah yang coba diejawentahkan Waryono dalam buku ini.
Agama Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki muara yang sama: Ibrahim. Ibrahim merupakan asal-muasal basis teologis ketiga agama serumpun itu. Yahudi dan Kristen sama-sama datang dari jalur Ya’qub-Ishaq-Ibrahim. Yang membedakan adalah tokohnya. Yahudi dibawa oleh Musa, sedangkan Kristen oleh Isa. Berbeda dengan kedua nya, Islam melalui jalur Ismail-Ibrahim.
Di samping perbedaan di atas, yang membedakan antara Yahudi dan Kristen serta Islam adalah siapa ibu biologis dari Ismail dan Ishaq. Sementara Ishaq lahir dari ibu bangsawan, Sarah; Ismail datang dari seorang budak bernama Hajar.
Akan tetapi, beberapa perbedaan tersebut tidak dapat menafikan bahwa ketiganya memiliki spirit keagamaan yang sama secara teologis. Yakni sama-sama menempatkan Ibrahim sebagai spirit keagamaan, meski dengan penyebutan yang berbeda. Secara berurutan sebutan itu adalah “Bapak Monoteis”, “Bapak Orang Beriman”, dan “hanif yang Muslim” yang dilekatkan pada Yahudi, Kristen, dan Islam.
Buku “Persaudaraan Agama-agama, Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan” sendiri merupakan hasil kajian kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Thabathaba’i. Thabathaba’i lahir di Desa Shadegan, Provinsi Tibriz. Nama aslinya Muhammad Husein. Gelar Thabathaba’i diberikan oleh sang ayah. Thabathaba’i sendiri adalah julukan salah satu kakeknya, Ibrahim Thabathaba’i bin Ismail al-Dibaji. Ia tergolong berdarah biru karena berasal dari keluarga ulama keturunan Nabi. Thabathaba’i tak hanya dikenal mahir dalam bidang bahasa dan agama, namun juga sintaksis, fikih, ushul fikih, mantiq serta filsafat dan teologi, hal 10-11.
Sebagai salah satu nabi ulul azmi, Ibrahim menempati posisi istimewa dalam diskursus keagamaan bercorak monoteis. Ia dijadikan sebagai contoh, model, dan teladan bagi nabi-nabi setelahnya. Lewat Ibrahim, paham monoteis (bertuhan satu) mulai dikenal dan berkembang hingga pada masa Muhammad. Dalam sejarahnya, Ibrahim lahir dan tumbuh hingga menjadi Nabi di tengah masyarakat yang politeis. Masyarakatnya percaya pada Allah, tetapi sekaligus “menciptakan” tuhan-tuhan baru bagi mereka.
Sumbangan penting buku ini adalah ketika meletakkan sekaligus mendiskusikan tiga istilah kunci dalam perdebatan agama-agama. Ketiga istilah tersebut yaitu, millah, din, dan syari’ah. Menurut Thabathaba’i, ketiga kata itu memiliki makna dasar yang sama, al-thariqah (jalan), meski berbeda dalam penggunaan.
Millah—bentuk tunggal dari milal—digunakan bagi pembawa syariat secara umum. Meski tidak ditujukan kepada per individu, kata ini, secara khusus bisa dinisbatkan kepada Ibrahim. Dengan lain kata, Ibrahim adalah perkecualian bagi penggunaan kata ini. Secara singkat bisa dikatakan, millah digunakan untuk menjelaskan pandangan hidup, kepercayaan, perilaku, dan “agama” (hal 43 dan 52). Sama halnya dengan millah, syariah lebih umum dalam penggunaan maknanya dibandingkan kata din. Millah dan Syariah adalah wujud nyata pemahaman keagamaan yang berkesesuaian dengan din. Keduanya adalah contoh konkret dari pemahaman dari din itu sendiri.
Universalitas?
Dalam menjelaskan kalimatun sawa’ yang terdapat dalam QS. Ali Imran [3]: 64, Thabathaba’i menjelaskan bahwa itu merupakan ajaran universal para nabi seperti Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Syua’ib, Musa, Isa, hingga Muhammad. Dalam konteks agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam), kalimatun sawa’ menandaskan bahwa terdapat kesamaan universal yang tercantum dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil, (hal 102-103).
Salah satu contoh kesamaan tersebut tercermin ketika berbicara tentang abnaullah wa ahibbatuhu (anak-anak Tuhan dan para kekasihnya). Bagi Thabathaba’i, ungkapan anak-anak Tuhan bukan dalam artian yang sebenarnya. Namun, itu hanya satu kiasan mengenai keistimewaan golongan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bunuwwah/bigetisme (paham bahwa Allah memiliki anak) dimaksudkan sebagai ekspresi bentuk kekhususan dan kedekatan atau al-ikhthishash wa al-taqarrub (hal 142). Dengan kata lain, itu hanya satu metafora yang digunakan untuk menggambarkan (hal 144).
Yang dipersoalkan Thabathaba’i, lebih lanjut, bukan pada tuduhan bahwa Yahudi sebagai politeis dengan pernyataan “anak Tuhan”. Namun, Thabathaba’i mempersoalkan klaim mereka yang mengatakan mendapatkan keistimewaan dari Allah. Keistemewaan itu berupa tidak akan mendapat perlakuan buruk, baik di dunia atau akhirat.
Namun, demikian, wacana kalimatun sawa yang coba diangkat dibuku ini cukup problematis. Hal tersebut dikarenakan, meski Waryono terlihat mencoba menyetarakan ketiganya, namun dia tidak bisa memungkiri perbedaan-perbedaan mendasar di antaranya. Hal tersebut tercermin dalam sub-bab “Dampak Kekafiran Yahudi dan Nasrani secara Sosial-Religius”.
Meski demikian, buku ini tetap memberikan sumbangan berharga bagi diskursus lanjutan dari tema agama Abrahamik. Ya, setidaknya menjadi pelengkap buku mutakhir Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekonstruksi Sejarah Kenabian Ibrahim AS. Sebagaimana Tertuang dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an (2014) terbitan Lentera Hati.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.