Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia semakin memprihatinkan. Pemerintah pada akhirnya memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3-20 Juli 2019. Pasalnya, pada awal Juli, kasus harian mencapai 24.836 kasus atau meningkat dua kali lipat dari dua pekan terakhir. Angka kematian juga meningkat 250% dalam periode yang sama.
Pembatasan ini bertujuan untuk menahan laju penyebaran Covid-19 dan menyelamatkan jiwa masyarakat. Namun kebijakan pemerintah tidak lepas dari dukungan dan penolakan. Salah satu penolakan tersebut berasal dari sebagian kalangan agamawan dan para pengikutnya.
Banyak dari mereka yang menganggap bahwa Covid-19 adalah sebuah rekayasa, konspirasi dan pengalihan publik atas berbagai kasus korupsi, kemerosotan ekonomi dan hal negatif lainnya yang tidak bisa diatasi pemerintah.
Padahal sudah banyak jurnal ilmiah, penelitian medis, data statistik dan realitas empiris lain sebagainya yang menunjukkan ancaman dan bahaya Covid-19. Sebagian kalangan agamawan dan para pengikutnya tidak percaya pada bukti-bukti tersebut. Sebagaimana para pengikut fatalisme (jabbariyyah), mereka lebih memilih bahwa agama satu-satunya yang menyelamatkan kehidupan mereka, bukan obat atau tindakan medis lainnya.
Di samping itu, mereka percaya bahwa tempat ibadah dan segala aktivitas di dalamnya akan aman dari penyebaran Covid-19. Tindakan seperti ini adalah bentuk pendekatan konflik di mana para agamawan dan para pengikutnya memperhadapkan agama dengan sains (termasuk medis) dan menganggap agama sebagai satu-satunya sumber kebenaran (Barbour, 1966 dan Haught, 1995).
Pendekatan konflik seperti itu terus diproduksi dan diulang-ulang di masyarakat sehingga dianggap sebagai satu-satunya pendekatan yang paling benar. Pendekatan seperti ini terus muncul sejak awal pandemi hingga sekarang.
Ada banyak contoh pendekatan ini yang dilakukan para agamawan maupun pengikutnya. Misalnya ketidaksediaan seorang ulama untuk menjadi imam, kecuali jika jamaah mencopot maskernya, merapatkan barisan dan berjabat tangan setelah ibadah. Hal ini terjadi di suatu kabupaten di Pantura yang pada saat itu menjadi zona merah. Namun ajakan itu sendiri ditolak oleh pengurus Masjid Agung daerah tersebut.
Ada juga seorang pria yang menolak penutupan masjid di Situbondo dan bahkan menyatakan siap perang. Jika sebelumnya dilakukan oleh individu, penolakan untuk menutup tempat ibadah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat dan diakomodir oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Dari beberapa fakta lapangan tersebut, pendekatan konflik cenderung lebih disukai. Padahal ada banyak pendekatan lainnya untuk melihat relasi agama dan sains. Barbour (1966) dan Haught (1995) melihat ada pendekatan dialogis, integratif dan konfirmatif. Agama dan sains tidak saling bertentangan, keduanya merupakan bagian paling penting dalam kehidupan manusia. Pendekatan lain tersebut mengusahakan dialog, interaksi dan kemungkinan adanya integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan agama memperkuat dorongan yang memunculkan sains yang melangkah lebih jauh (Haught, 1995).
Menutup tempat ibadah, mengurangi ritual ibadah yang sunnah serta mengurangi jumlah jamaah memang suatu hal tabu, mafsadat (menyebabkan akibat buruk), bahkan bisa mengurangi pahala yang selama ini telah biasa dilakukan secara berjamaah. Namun membawa tempat ibadah dan jamaah kepada penyakit yang belum ada obatnya, jauh lebih tabu dan mafsadat.
Dalam kaidah fikih, jika ada dua mafsadat terjadi, maka mafsadat yang lebih berat yang harus dihindari. Prioritas dalam kaidah tersebut adalah untuk menghindari dan menekan mafsadat yang lebih besar, sebagaimana kebijakan PPKM Darurat yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagaimana judul buku Habib Ali al-Jufri, kemanusiaan, termasuk kesehatan dan keselamatan serta jiwa manusia, adalah sebelum keberagamaan. Keberagamaan adalah bagaimana seseorang menjalankan agama, bukan agama itu sendiri. Tempat ibadah untuk menunaikan kewajiban secara berjamaah bisa ditutup, tapi kewajiban itu masih bisa dilakukan rumah untuk menghindari penyebaran Covid-19. Apalagi Rasulullah SAW bersabda “orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang kurang kuat.” Kuatnya seorang mukmin tidak hanya dalam imannya saja, tetapi juga dalam badannya yang sehat dan bugar, serta terhindar dari Covid-19 untuk melakukan ibadah di masa pandemi ini.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.