Beberapa hari lalu, wacana lockdown di beberapa kota di Indonesia menguat. Hal itu didasari atas, semoga saya tidak salah, atas kepedulian warga. Dimulai dari desa-desa di Yogya, gerakan Lockdown juga sempat menggegerkan desa di mana saya dilahirkan. Di salah satu desa di kecamatan Batangan, Pati.
Saya sendiri menjadi ODP setiba pulang kampung dari Solo, 12 hari lalu. Pasca pengumuman walikota Solo yang menerbitkan status Kejadian Luar Biasa di Solo akibat dari ditemukan satu pasien positif Covid-19, saya sudah ancang-ancang untuk mudik, antara ke Pekalongan atau Pati.
Mungkin, sebagaimana diskusi-diskusi yang terhampar di penjuru Indonesia tentang Corona, keriuhan juga terjadi di desa kami. Begitu, setidaknya yang saya rasakan. Baik ketika ngobrol dengan keluarga yang bercerita tentang hebohnya Covid 19 di televisi ataupun perbincangan di sawah.
Saya tidak tahu tepatnya, di hari keberapa saya di rumah, saat beberapa pemuda di grup WA yang saya ikuti mulai mawas dan bergerak. Saya, yang berstatus ODP, hanya berdiam diri di rumah, menjaga stamina dan lebih berhati-hati. Hal yang lumayan janggal saya lakukan pasca Covid 19 ini adalah setiap kali menjelang makan, saya selalu mencuci tangan dengan sabun; satu hal yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah saya lakukan sebagai rutinitas. Di satu sisi, ini menjadi kebiasaan yang positif.
Di luar hiruk-pikuk diskusi di medsos, saya mencermati satu gerakan kultural dari bencana internasional ini. Apa itu? Ya. Sebagaimana yang juga Anda rasakah. Yaitu kepedulian warga, khususnya para pemudanya, untuk menjaga desanya dari bahaya yang datang dari luar. Gerakan kultural itu berupa himbauan-himbauan yang timbul tenggelam di grup WA desa, mulai dari gaya slengean antar pemuda, agak serius, dan tak jarang agak bersitegang dengan orang-orang yang sedang menerima amanah jabatan di tingkat desa.
Kecerewetan warga itu tidak mesti dipandang sebagai sesuatu yang selalu negatif. Justru, pada level tertentu, mesti kita apresiasi sebagai bentuk kepedulian yang berwatak lokal. Maka, tak heran jika kemudian tersiar spanduk-spanduk di penjuru kota tentang himbauan “Lockdown Desa”, “Lockdown RT”, dan balakurawanya.
Apa kita perlu cemas dengan kecerewetan semacam itu? Saya kira tidak. Lagi-lagi, saya memandang, kecewetan itu mesti kita duduk-perkarakan sebagaimana mestinya. Tidak hanya sebatas melihat kecerewetan sebagai kecerewetan. Bisa jadi, saya tegaskan sekali lagi, bisa jadi model keceweretan yang tidak kita inginkan itu adalah bukti konkrit kecintaan mereka pada daerahnya, pada desanya, pada kotanya. Bukti riil kecintaan kita pada sesuatu itu. Meskipun, nantinya, hanya akan dibilang, “ah cerewet loe”.
Dua belas hari sudah, saya mendekam dalam kamar sebagai amalan physical distancing, sebagaiman anjuran berbagai ahli. Tirakat nasional ini semoga saja cepat bisa mengakhiri wabah Corona, sehingga bisa mengambil jarak kurva orang yang terpapar dengan kekuatan sistem kesehatan nasional kita.
Saya yang hidup di desa, tentu merasakan perbedaan yang besar dibandingkan dengan mereka yang hidup di perkotaan. Yang mana arus pertemuan antar manusia lebih deras dan lebih intens. Di desa, physical distancing bisa lebih ditekan, dengan syarat warganya memahami betul apa yang sedang dihadapi bersama ini.
Melihat persebaran Covid-19 yang berskala internasional hingga diberi “gelar” oleh WHO sebagai pandemi, kita sebetulnya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menarik kewaspadaan lebih tinggi. Jangan juga menunggu jatuh korban meninggal hingga ribuan, puluhan, atau ratusan ribu untuk menyadari bahwa ini sebuah ancaman. Cukup, bayangkan saja hal tersebut menimpa orang-orang terdekat Anda.
Akhiran, yang kita memang hadapi bukan kobra, atau King Kobra yang nampak, namun sesuatu yang oleh beberapa orang dianggap tidak betul-betul ada. Sulit memang! Yang satu bilang nampak, yang satu bilang tidak. Lho, kok, gini endingnya.
Ahmad Khotim Muzakka
Menjelang Magrib.
Pati, 31-3-2020
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.