Melongok dinamika keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, sepertinya tesis Martin van Bruinessen tentang apa yang disebut conservative turn (2011) patut diangkat kemuka. Kenapa? Apa pentingnya merefleksikan peringatan antropolog asal Belanda itu?
Kita lihat bagaimana ruang-ruang virtual dijejali propaganda kebencian atau ketidaksepakatan dengan nada minor. Baik itu berupa teks, gambar, ataupun video yang diproduksi secara mudah.
Kini, siapapun dapat menyebarkan gagasan tanpa harus bertungkus-lumus. Lewat media sosial, seseorang begitu mudah menuangkan “gagasan”. Meskipun keleluasaan menuangkan gagasan itu lantas menjadi semacam kebanalan tersendiri. Satu hal yang tak bisa dijumpai beberapa dekade sebelumnya.
Beberapa waktu lalu, saya secara tak sengaja menemukan unggahan “video dakwah” berisi larangan bagi laki-laki memakai celana isbal. Celana yang dimaksudkan adalah celana yang melebihi batas mata kaki.
Apa yang bermasalah dengan video dakwah itu? Bukankah itu berdasarkan panduan sunnah? Ya. Yang menjadi persoalan adalah video tersebut hanya mengutip dua hadis tanpa penjelasan komprehensif. Bahkan asbab al-wurud (baca: kontes turunnya) hadis tersebut tidak diperlihatkan sehingga terasa ada yang kurang. Padahal, dalam kajian ilmu hadis, persoalan konteks ini sangat penting.
Tulisan singkat ini tidak berbicara wilayah tersebut. Di sini, penulis ingin mengkritisi konten video berdurasi “cuma” satu menit tujuh detik itu. Setidaknya, ada dua argumen yang dipaparkan seputar larangan laki-laki ber-isbal.
Pertama, menjulurkan pakaian karena kesombongan. Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat. Allah tidak akan berbicara dengannya. Allah tidak akan mensucikannya. Terancam mendapat adzab pedih. Himbauan itu diperkuat dengan mengutip tanpa menjelaskan hadis. “Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat (HR. Bukhari).
Sama halnya dengan yang pertama, kategori kedua juga tidak disertai uraian memadai. Dijelaskan bahwa laki-laki dilarang menjulurkan pakaian di bawah mata kaki tanpa kesombongan. Pelakunya diancam akan ditempatkan bagian kakinya di neraka. Narasi tersebut dikuatkan dengan: “Apa saja yang berada di bawah mata kaki, maka tempatnya di neraka (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i)”.
Sayang sekali penjelasan tentang larangan menggunakan yang isbal (melewati batas matakaki) justru membuat geli dan rancu. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengukur tingkat kesombongan seseorang? Apakah bisa kesombongan diukur hanya dengan isbal/tidaknya pakaian dan menegasikan faktor lain di luar itu? Sungguh, penjelasan itu tidak memadai sehingga terkesan dipaksakan.
“BRI Melecehkan sunnah”?
Begitu kesimpulan seorang mualaf di akun facebook. Ia mengomentari video berdurasi 38 detik berisi percakapan Satpam dan laki-laki-laki berkopiah dan berjenggot. Bapak berjenggot tersebut memprotes Satpam yang melarang wanita bercadar mengambil uang ATM di salah satu anjungan di Ngawi.
Di bawah ini adalah video terkait:
https://www.youtube.com/watch?v=G0NWEuQdPn4
Setelah mendengarkan secara cermat isi percakapan, saya berkesimpulan bahwa di tengah masyarakat kita tengah terjadi paranoid thagut. Setidaknya tercemin dari komentar negatif yang muncul dari mualaf tadi.
Mengapa saya berkesimpulan demikian? Menurut saya, kesimpulan si mualaf yang mengatakan, “BRI melecehkan sunnah” dari video yang sudah ditonton lebih dari 230 ribu (ketika tulisan ini dibuat) orang itu salah dan cenderung mengaburkan persoalan.
Pasalnya, si mualaf terasa ingin memotong pemahaman dengan mengatakan “BRI melecehkan sunnah”. Padahal, jika mau memahami dengan cermat dan tidak asal tuduh, sebenarnya benang merah dari kasus ini sederhana. Bukankah yang dilarang bukan cadarnya? Tetapi karena cadar itu menutup wajah sehingga CCTV tidak dapat mengenali siapa orang yang sedang melakukan transaksi. Sangat lumrah dijumpai ketika kita menarik uang di ATM akan ditemukan larangan penggunaan helm, kacamata, ataupun perangkat lain yang menutupi wajah. Dari sini, protes yang dilancarkan tentang pelarangan tersebut tidak berdasar dan cenderung mengaburkan persoalan.
Tekstualis dan Arabisasi?
Dari video tersebut dapat dipahami bahwa pemahaman terhadap teks terkait sangat tekstualis tanpa mengindahkan unsur penting (atau barangkali jauh lebih penting) yang memengaruhi satu hukum dibuat.
Propaganda larangan isbal itu menabalkan tesis Martin van Bruinessen. Dalam What Happened to the Smilling Face of Indonesian Islam?: Muslim Intelectualism and the Conservative Turn in Post-Suharto Indonesia, antropolog asal Belanda mendedahkan pasca era reformasi wajah Islam Indonesia telah berubah.
Sebelumnya, Islam Indonesia memperlihatkan dinamika intelektualisme Islam yang menggairahkan, dimana Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid menjadi pioner utama.
Konflik antarumat beragama, gerakan jihad, dan sejumlah pengeboman di sejumlah daerah menghidupkan alarm. Itu pertanda bahwa kondisi keberagamaan sedang dalam masa genting.
Pasca runtuhnya era Suharto, meski wacana intelektualisme itu tetap ada, namun yang nampak adalah suara-suara sumbang memandang eksistensi NKRI, demokrasi dan turunannya, serta hal-hal lain yang disangkut-pautkan dengan religiositas. Kasus larangan isbal tersebut bisa jadi masuk kategori yang saya sebut kali terakhir.
Di samping kecenderungan tektualis dalam membaca teks keagamaan, hal yang mendukung terjadinya “menjadi konservatif” adalah ketertarikan masyarakat Indonesia untuk meniru segala hal berbau Arab. Hal tersebut disinggung Ismail Fajrie Alatas dalam disertasinya Aligning The Sunna and The Jama’a: Religious Authority and Islamic Social Formation in Contemporary Central Java, Indonesia (2016).
Ismail Fajrie Alatas masuk ke perdebatan yang lain lebih subtil dan intim. Yakni tentang bagaimana sebagian dari muslim Indonesia memaknai keberislamannya. Bagaimana ekspresi keagamaan orang Indonesia yang sangat terkagum-kagum terhadap segala pernik-pernik kebudayaan Arab diadopsi sedemikian banal sehingga melahirkan istilah yang sering diaebut dengan ‘arabization’.
Apa itu ‘arabization’ dalam lingkup ini? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘arabization’ merupakan sebentuk sikap hidup yang tercermin dari laku keseharian yang mencerminkan anasir kebudyaan bangsa Arab sebagai pedoman hidup.
Contohnya sangat lumrah kita temukan dalam keseharian. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana orang yang telah menjadikan ‘arabization’ sebagai gaya-hidup bisa dilihat dari cara berpakaian.
Sangat mudah Anda temukan orang memakai gamis dan bercelana cingkrang di bawah lutut. Besar kemungkinan orang semacam itu menganggap bahwa pakaian seperti itu adalah model pakaian yang pernah digunakan Nabi Muhammad.
Jika tidak dibendung sak-wasangka yang dibumbui klaim keagamaan yang tidak ditimbang dengan nalar kritis akan kian sulit dibendung. Setelah klaim dilayangkan, yang bakal terjadi adalah menjadikan orang yang berbeda dan berada di luar kotak ‘arabization’ itu mesti mendapatkan pencerahan agama.
Ekpresi keagamaan orang Indonesia tidak mesti sejalan dengan laku keagamaan orang Arab. Selama hal tersebut tidak bersentuhan langsung dengan hal-hal yang bersifat wajib. Cara berpakaian, mengucapkan salam merupakan contoh kecil ekspresi keagamaan yang bermuatan lokal. Tak elok jika lahir pemahaman yang mengatakan bahwa cara berpakaian berjubah, sebagai contoh saja, menjadi tolok ukur religiositas seseorang. Padahal keulamaan, kepandaian, dan kecendekiawanan tidak ada sangkut-pautnya dengan hal material semacam itu. [ed]
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.