Fazlur Rahman (1919-1988) adalah seorang pemikir Muslim kontemporer asal Pakistan yang pemikiran-pemikirannya banyak memberi angin segar bagi kajian keislaman dewasa ini. Ia merupakan pemikir yang mampu memberikan terobosan baru bagi kemandekan kajian Islam yang sudah sejak lama mengalami kemandegan. Boleh dibilang, ia adalah membaharu ulung yang sulit ditandingi pengaruh dan kontribusinya dalam memberi pengertian baru terhadap Islam dan upaya memodernisasi Islam yang berangkat dari pemahaman terhadap al-Qur’an.
Salah satu ciri utama hampir semua pembaharu Muslim kontemporer adalah upaya melakukan reinterpretasi terhadap al-Qur’an. Mereka berkayakinan, sebagaimana juga Rahman, bahwa al-Qur’an harus menjadi pijakan utama untuk melakukan reformasi terhadap pemikiran Islam. Sebab, umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an adalah sumber utama pandangan hidup dan jalan kebenaran, sehingga aspek-aspek inti dari pengembangan ajaran Islam harus dimulai dari pemahaman terhadap al-Qur’an. Dalam konteks ini, penulis ingin melihat upaya Rahman dalam melakukan reformasi terhadap pemikiran Islam melalui dasar-dasar al-Qur’an.
Gagasan Rahman yang paling utama dalam upaya reformasi pemikiran Islam adalah bagaimana seorang Muslim dapat memanfaatkan pendekatan dan metodologi baru dalam memahami Islam, terlebih bagaimana metodologi itu dipakai untuk reinterpretasi terhadap al-Qur’an. Metodologi baru yang dikembangkan oleh Rahman ini juga banyak diterapkan oleh para sarjana lain di beberapa bidang.
Rahman sangat yakin bahwa salah satu tujuan utama al-Qur’an adalah menciptakan sebuah masyarakat yang berlandaskan pada keadilan. Dia juga melihat Nabi Muhammad sebagai seorang tokoh reformis sosial, yang berusaha untuk memberdayakan orang-orang miskin, lemah, dan yang rentan diserang musuh. Dengan demikian, dia memandang al-Qur’an sebagai sumber prinsip-prinsip etis, daripada sumber hukum. Salah satu tujuan intelektualnya adalah berusaha merumuskan tatanan masyarakat tanpa eksploitasi terhadap mereka yang lemah.
Dalam ungkapannya, Islam sebagai agama, serta ajaran-ajaran al-Qur’an pada khususnya, harus dilihat sebagai sesuatu yang mampu membuat kemanfaatan dan kesetaraan positif bagi umat Islam. oleh karena itu, tujuan utama Islam tidak akan terealisasikan sampai kebebasan otentik manusia benar-benar dikembangkan dan kebebasan dari segala bentuk eksploitasi sosial, spiritual, politik, dan ekonomi, benar-benar diaplikasikan.
Posisinya sebagai seorang reformis didasarkan pada keyakinan bahwa, sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Saeed dalam The Qur’an An Introduction: “Implementasi al-Qur’an tidak akan tercapai dengan metode literal dalam konteks modern ini karena hal tersebut dapat mengaburkan tujuan utama al-Qur’an. Meskipun pendapat fuqaha atau ulama Islam selama tiga belas abad terakhir harus dipelajari dengan serius dan diberi perhatian khusus, pendapat-pendapat tersebut mungkin dalam beberapa kasus memuat kekeliruan atau hanya mencakup kebutuhan masyarakat saat itu, dan tidak untuk saat ini.”
Apa yang dilakukan oleh Rahman adalah mencoba merumuskan metodologi alternatif interpretasi ayat-ayat etika-hukum dan mencoba mencari relasi antara teks dan konteks, baik konteks pewahyuan maupun konteks ketika ditafsirkan. Rahman menentang pendekatan tradisional yang dilakukan oleh fuqaha’ dan mufasir klasik yang menurutnya, telah menafsirkan al-Qur’an secara sepotong-potong dan tidak melakukan upaya apapun untuk memahami al-Qur’an dan pesan Nabi secara holistik.
Hal penting yang dilakukan oleh Rahman di sini adalah mencoba mengangkat persoalan nilai dalam ayat-ayat etika-hukum dan menafsirkannya. Rahman juga telah menunjuk beberapa nilai, misalnya, keadilan, sebagai nilai tertinggi bagi setiap aturan spesifik yang terkandung dalam al-Qur’an, misalnya bisa ditemukan dalam ayat tentang kebolehan menikahi empat perempuan.
Menurutnya Rahman, seorang mufasir harus menemukan prinsip umum dari aturan yang spesifik yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah melalui penelusuran yang serius terhadap konteks sosio-historis. Rahman melanjutkan pemikirannya bahwa sebagai basisnya, seorang mufasir harus membangun ‘teori sosio-moral yang terpadu dan komprehensif’. Di atas basis teori inilah seseorang diharapkan menafsirkan ayat-ayat etika-hukum. Dengan itu, Rahman menawarkan inti dari metode yang dikenal dengan istilah ‘kontekstual’.
Bagi Rahman, langkah pertama dan paling penting dalam membangun metodologi ini adalah menemukan prinsip umum melalui dua gerak utama; karena metodenya dikenal dengan ‘teori gerakan ganda’ (double movement theory). Dalam gerak pertama, konteks sosio-historis ditelusuri dan dilibatkan guna mengetahui kasus spesifik yang akan menggiring kepada penentuan prinsip umum, misalnya keadilan atau kejujuran. Rahman tidak hanya menyebutkan satu prinsip saja. Sebalinya, dia tertarik pada sebuah bangunan atau kumpulan prinsip umum yang kemudian akan menentukan kasus-kasus khusus.
Pada gerak kedua, prinsip umum ini digunakan sebagai dasar untuk menformulasikan hukum atau aturan yang relevan dengan zaman modern. Dalam melakukan formulasi ini, seorang mufasir harus memahami secara menyeluruh kondisi-kondisi khusus yang ada pada zaman modern. Sumbangan penting Rahman melalui double movement-nya adalah tawaran dia untuk memperhatikan konteks baik pada masa pewahyuan maupun pada zaman modern untuk kemudian menjembatani teks dengan kebutuhan masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh Rahman ini merupakan sebuah gebrakan baru yang secara keseluruhan dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap pemikiran ortodoksi yang bersifat taken for granted yang percaya bahwa kajian keislaman secara umum dan al-Qur’an secara khusus, tidak memerlukan kajian atau rumusan ulang. Kaum ortodoks pada umumnya percaya bahwa perkembangan sejarah peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidaklah memiliki pengaruh apa-apa bagi bangunan struktur keagamaan. Di sinilah salah satu letak signifikasi formasi pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Rahman yang di antaranya dapat dilihat dalam menafsirkan ulang terhadap teks al-Qur’an.
Singkatnya, kontribusi utama Rahman terhadap perdebatan tentang Islam abad ke-20 adalah gagasannya dalam memahami al-Qur’an, bahwa umat Islam harus menjauh dari pendekatan reduksionis dan konvensional yang tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, sejarah, dan konteks linguistik al-Qur’an. Pendekatannya terhadap al-Qur’an dapat dilihat sebagai salah satu pendekatan yang paling orisinil dan sistematis yang hadir pada paruh kedua abad ke-20.
Demikian juga, pendekatannya pada sejarah konteks pewahyuan telah memberi pengaruh yang luas dalam perdebatan Muslim kontemporer tentang isu-isu penting seperti hak asasi manusia, hak-hak perempuan, dan keadilan sosial. Rahman berpendapat bahwa tanpa menyadari realitas sosial dan politik masyarakat di mana al-Qur’an diturunkan, seseorang tidak akan bisa memahami pesannya. Meskipun terdapat beberapa kritik, pendekatan Rahman semakin banyak diadopsi oleh umat Islam dalam upaya mereka menghubungkan al-Qur’an dengan kebutuhan kontemporer, dan mungkin akan terus berpengaruh di kalangan generasi Muslim intelektual saat ini.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.