Semua bermula ketika saya pertama kali menjumpai naskah terjemahan disertasi Mun’im Sirry berjudul “Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik al-Qur’an terhadap Agama Lain” (Gramedia, 2013) saat sedang menyelesaikan tesis magister di UIN Sunan Kalijaga. Menelaah naskah disertasi tersebut hingga hampir tuntas membuat saya sadar satu hal: inilah jawaban yang saya butuhkan dari banyak hal yang mengganjal dalam benak saya selama ini, yaitu statemen kontroversial ayat-ayat al Qur’an.
Muslim manapun yang terdidik secara tradisional akan sangat terkejut hanya setelah melangkahkan niat untuk makin kritis terhadap fakta dan gagasan yang kontradiktif di balik ayat-ayat al-Qur’an. Di satu sisi mereka belajar kasih sayang sebagaimana Rasulullah mentradisikannya dalam Sunnah sehari-hari. Namun di beberapa titik di mana mereka menelaah ayat-ayat di al-Qur’an justru terdorong untuk merasa superior dan jumawa atas umat pemeluk agama lain. Perilaku tersebut jauh dari citra sosok penuh kasih sayang kepada pihak lain. Lantas, bagaimana mungkin sama-sama menelaah al-Qur’an namun yang terjadi justru kontradiksi tegas?
Benturan gagasan al-Qur’an itu, secara spesifik dengan agama lain, coba dijawab oleh Mun’im Sirry. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbenturan langsung dengan tradisi Kristen dan Yahudi diulas dengan menghadirkan pontesi kemungkinan makna dan arah yang sarjana tradisionalis jarang singgung.
Misalnya, pada (1) empat kali penyebutan kata yuharrifuun (mengubah) di al-Qur’an yang seolah mengkonfirmasi tuduhan kepada Yahudi mengubah kitab suci yang mereka terima, dan pada (2) persoalan Trinitas yang disinggung QS 5:73 dan dianggap mewakili sikap penolakan Islam terhadap ajaran Kristen. Sementara di sisi dan tempat yang berlainan, gagasan moderat Kalimatun Sawaa’ pada QS 3:64 yang berisi ajakan kepada Ahlul Kitaab untuk menyembah Tuhan tanpa mempersekutukan, juga statemen konfirmasi (mushaddiq) dalam diri al-Quran atas kitab suci yang turun sebelumnya, justru sangat berlainan pesannya dari gagasan bernuansa ‘serangan teologis’ di atas. Di tangan Mun’im, ayat-ayat kontradiktif seolah dipertanyakan kembali dan dicoba kaitkan dengan ayat lain yang relevan, berikut diulas secara mendalam.
Mengenai tuduhan kepada Yahudi yang dianggap menyimpangkan isi kitab suci, Mun’im merujuk ke tafsir Mahaasin al-Ta’wiil karya Jamaaluddiin al-Qaasimii. Kata yuharrifun (di empat tempat : QS 2:75, 4:46, 5:13, dan 5:41) oleh al-Qaasimii dipahami dengan, “mereka berpaling dari makna yang sebenarnya kepada makna lain”. Tidak ada kesan meyimpangkan dalam bentuk merubah isi teks kitab suci, melainkan ‘hanya’ tafsir atas kitab sucinya saja yang menyimpang. Argumen ini dikuatkan dengan sebuah hadis yang merekam interaksi Nabi Muhammad dengan sahabatnya yang menaruh perhatian pada Taurat. Mengaku di hadapan Nabi bahwa ia membaca al-Qur’an dan Taurat sekaligus, Nabi menyarankan untuk membacanya bergiliran, “Iqra’ haadzaa laylatan wa haadzaa laylatan.” “Baca ini (al-Qur’an) satu malam dan ini (Taurat) malam (lainnya).” Hadis ini, andai benar adanya, menurut al-Haafidz Syamsuddiin al-Dzahabii adalah keringanan (rukhshah) dari Nabi bagi siapapun yang berkenan membaca Taurat dan memahami kandungannya.
Beralih ke Kristen, di saat QS 5:73 mengarah kepada penolakan Trinitas (satu tuhan dalam tiga), ayat QS 5:116 dimunculkan karena memiliki gagasan yang beda dari Trinitas, yaitu Triteisme (tiga tuhan). Ada kesan ambigu apakah yang disasar al-Qur’an itu Trinitas atau justru Triteisme. Lontaran gagasan Triteisme sengaja dilakukan karena ada fakta sejarah yang merekam keberadaan sekte Penyembah Maryam yang tersebar di Semenanjung Arab sekitar abad empat masehi. Sekte ini disebut Collyridian, ditandai dengan membagi-bagikan roti sebagai persembahan atas nama Maryam. Belum lagi jika kita perhatikan detail dari kata tsaalitsu tsalaatsah pada QS 5:73, semestinya implikasi maknanya adalah bahwa Allah sebagai ‘(oknum) yang ketiga di antara tiga’. Lalu siapakah pertama dan kedua di antara tiga? Bukan tidak mungkin jawaban mengarah kepada penegasan Triteisme yang dikandung QS 5:116 dan di saat bersamaan menolak Trinitas sebagai pokok bahasannya.
Adanya gagasan alternatif di tengah narasi besar mainstream bukan ditujukan untuk face-to-face mematahkan apa yang menjadi inti pesan al-Qur’an, melainkan membuatnya semakin berwarna dari sisi tafsiran dan keterangan kesejarahan yang mengelilinginya. Diakui atau tidak, sumber sejarahpun tidak selalu menyuarakan fakta sejarah (the history as it is), terkadang mereka hadir sebagai sejarah keselamatan (salvation history) yang sangat teologis dan menjauh dari fakta sesungguhnya. Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
- Jamaaluddin al-Qaasimii, Mahaasin al-Ta’wiil. Beirut: Daar al-Fikr, 2005), Vol. 1.
- Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci : Tafsir Reformasi atas Kritik al-Qur’an terhadap Agama Lain. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013.
- Walid A. Saleh, In Defense of The Bible: A Critical Edition and An Introduction to al-Biqa’i’s Bible Treatise. Leiden: Brill, 2008.
Ahmadi Fathurrohman Dardiri, Mengajar di Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta
Discussion about this post