Lonjakan Covid-19 awal bulan Juni 2020 di Jepara berbeda dari kasus yang sama setahun lalu. Di dusun saya, blok rumah yang terkena merata. Orang sakit datang bersamaan dan bergantian. Dan waktunya panjang. Hasil pengamatan saya, penyakit ini tidak seperti batu dan pilek biasa, sebagaimana orang-orang yang tak percaya Covid-19 mengatakan meriang biasa.
Pengamatan skala kecil ini berawal ketika muadzin di dusun laporan ke saya. Saya kebetulan Ketua Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) di dusun saya. ”Pak jamaahmu akeh seng loro (pak Jamaah kamu banyak yang sakit,” jelasnya.
Agar tidak terjadi simpang siur soal data, pagi harinya saya mendata. Mulai dari imam masjid, jamaah semua penjuru saya cek langsung yang bersangkutan. Betul keluhannya sama. Batuk, pilek, panas, dan gemetar. Tidak bisa membau dan mencium.
Saya kemudian woro-woro di grup Whatsapp masjid. Memberi pengumuman siapapun yang sakit ataupun tetangganya sakit segera memberi kabar.
Tidak banyak yang lapot lewat grup WA. Lebih banyak japri atau WA pribadi ke saya. Setelah data masuk, saya datangi perawat yang juga jamaah dan pengurus masjid. Bersyukur respon beliau cepat.
”Kalau belum parah, belikan multivitamin,” jelasnya.
Tapi ada beberapa jamaah kondisinya ngedrop. Nafasnya terengah-ngeah dan nafsu makan hilang. Dibawa ke rumah sakit tidak mau. Takut positif. Hal lainnya, informasi dari perawat itu rumah sakit di Jepara penuh. Beberapa pasien dirujuk ke Semarang dan Solo.
”Gini aja mas, tolong resep obat Covid,” pintaku ke dia.
”Ok,” jawabnya.
Dia kemudian menuliskan resep. Tugas kita bagi. Saya titip multivitamin ke perawat itu. Dari awal Juni sampai sekarang sekitar tiga dus kami beli.
Sumbernya dari mana? Bukan dari saya. Saya woro-woro di grup WA masjid.
”Mari sodaqoh obat untuk teman dan tetangga kita,” tulis saya di grup WA itu.
Ada satu ustadz, satu orang pegawai Pemkab, dan perawat itu yang menanggapi ajakan saya. Mereka menawarkan bantuan uang. Semuanya japri. Waktu tidak berabrengan, tetapi bergantian.
Setelah ada dana, kami belikan obat. Semuanya multivitamin. Perawat inilah yang lebih banyak tahu siapa saja yang sakit. Karena dia yang banyak dikabari warga.
”Mas jamaah ini sakit. Silahkan diberi multivitamin,” tulisnya di grup WA.
Saya segera meluncur. Waktu itu hampir pukul 23.00.
Informasi tak hanya dari perawat itu. Ada juga dari jamaah dan warga. Obat-obat langsung didistribusikan. Kondisi yang parah terpaksa hanya kami beri resep dari perawat itu. Karena cukup mahal. Sekitar Rp 70an ribu.
Alhamdulillah rata-rata yang diberi multivitamin nafsu makan bertambah. Yang Awalnya merahasiakan sakitnya, akhirnya jujur. Bilang sakit dan minta multivitamin.
Lalu bagaimana masjid memperhatikan banyak warga dan jamaah sakit, saya dan pengurus rapat di grup WA. Pro kontra teradi terkait prokes di Masjid. Tetapi akhirnya kita “sepakat” prokes dilakukan. Mulai dari jaga jarak, bawa masker, dan tidak bersalaman. Beberapa imam dan sesepuh agama dan masyarakat juga jamaah sepakat jika masjid menerapkan sistem prokes.
Pemberian obat dari jamaah ke jamaah saya singgung sedikit di tulisan sebelumnya. Teman yang saat ini lanjut doktoral di UIN Suka membaca tulisan saya. Ia kemudian WA. “Sodaqoh masjid lebih baik untuk penanganan korona jamaah. Dibandingkan untuk membangun masjid. Selamatkan dulu jamaahnya. Itu tanggungjawab agama.”
Saya sepakat ide liar teman saya itu. Saya sebelumnya tidak berfikiran sampai situ.
Sekarang ini Jogo Tonggo hanya andalkan pemerintah. Sementara di beberapa daerah kodisi pemerintah di tingkat bawah tidak efektif. Warga lebih taat perintah tokoh agama dan tokoh masyarakat dibandingkan tokoh pemerintah. Tokoh agama inilah yang kemudian bisa mengorganisir jamaahnya. Siapa yang sakit. Siapa yang perlu pertolongan.
Kondisi yang terkena pandemi ini sudah banyak. Merata. Dan perlu penanganan bersama. Mulai orang biasa sampai pejabat. Mulai dari lembaga pemerintah dan ormas. Mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai masjid tingkat bawah.
Kendala kemudian, adakah dalil yang membolehkan uang masjid untuk penanganan jamaah yang sakit. Lha ini yang akan terjadi pro kontra. Seperti biasa, agama selalu hampir demikian.
Kalau dipermasalahkan kas masjidnya, maka awal saya worro-woro adalah sodaqoh untuk jamaah yang sakit. Jamaah saling dukung. Jadi kas masjid yang ikrarnya untuk masjid tidak terkurangi. Jadi tidak masalah. Ini jika ada yang mempermasalahkan tentang jariah masjid. Jika tidak ada maka jariah masjid untuk kemasalahan masjid termasuk jamaahnya akan lebih mudah.
Pemandangan berbeda dengan rata-rata masjid yang sekarang ini ada. Seolah-olah masjid dan urusan jamaahnya berbeda. Sodaqoh masjid ya untuk urusan di dalam masjid bukan termasuk urusan jamaahnya.
Menurut Sayyid Sabiq, pemahaman wakaf termasuk jariah ke masjid yaitu menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Alloh. Jalan Alloh ini yang perlu pemahamanan panjang. Menolong jamaah menurut saya bagian dari jalan Alloh.
Menurut Taqiyyudin Abu Bakr dengan wakaf dimungkinkan adanya pengambilan manfaat beserta menahan dan menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Silahkan baca skripsi Nusrul Aziz sarja UIN Walisongo tahun 2018.
Penanganan Covid adalah kepentingan kebaikan. Juga untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Menolong orang dalam kesakitannnya agar tidak menular dan bisa segera sembuh. Pada akhirnya bisa kembali berjamaah.
Pertanyaan selanjutnya, apakah yang ditolong hanya jamaah masjid. Apakah yang tidak jamaah tidak boleh?
Kalau pendapat saya tidak. Ta’awanu ‘’alal birri wa taqwa wala taawanu ala ismi wal udwan. Jelas kita diperintahkan menolong siapapun. Apalagi dalam kondisi pandemi ini.
Menjadi kendala lain adalah, pemahaman agama di kampung-kampung sangat sempit. Bisa dimaklumi karena mereka rata-rata hanya berpendidikan informal. Pemahaman agama sebatas ia yang ia tahu. Juga tidak banyak kitab refrensi. Bahkan beberapa hanya andalkan dawuh kiai.
Ini berbeda dengan dunia kampus islam. Punya pikiran bebas berpendapat dan dilatih banyak referensi.
Lalu bagaimana? Ilmu Islam masih ekslusif. Belum membumi.
Pakar-pakar ilmu islam banyak yang ”ngumpet” di kampus. Atau “ngumpet” di lingkungan borjuis. Perumahan mewah. Perumahan yang dihuni kalangan intelektual. Dan mereka bangga.
Tidak banyak pakar atau ahli pendidikan Islam yang berani lantang di kampung mengubah kebiasaan adat agama di lingkungan bawah/kampung.
Lulusan sarjana Islam masih banyak ilmunya hanya untuk mencari pekerjaan. Belum mau aplikasikan di tingkat bawah/kampung. Mereka takut dengan pertentanngan. Belum berani mengajarkan ilmu hasil pelajaran di kampus atau kitab-kitab kontemporer yang ia pelajari. Kalau demikian Agama hanya akan tetap pada posisinya. Tidak ada kemajuan di dalamnya. (*)
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.