Buku : “I Come from Pancasila Family”: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia Post-Reformasi Era
Penulis : Suhadi
Penerbit : Lit Verlag, Zurich
Terbit : pertama, 2014
Tebal : 241 halaman
Wacana mengenai Pancasila terus mengecambah. Dari hari ke hari, perbincangan peran penting Pancasila tidak lekang ditelan zaman. Relevansinya mengokohkan fondasi kewarganegaraan pun selalu mendapatkan tantangan. Buku bertajuk seksi I Come from Pancasila Family ini mendedahkan bagaimana dinamika hidup masyarakat di akar rumput.
Suhadi, penulis yang menyelesaikan program doktoral di Rodboud University Nijmegen, Belanda ini menyajikan analisa menggelitik perihal pemaknaan relasi Muslim-Kristen di Indonesia setelah masa Reformasi. Ia tidak mengkaji masalah teologi, namun memfokuskan diri para hubungan timbal balik yang dijadikan alat teropong untuk memetakan identitas personal, yang memungkinkan berimbas pada identitas komunal.
Dalam kajiannya ini, penulis menjadikan Kota Solo sebagai objek penelitian. Solo dikenal sebagai kota yang penuh dinamika keagamaan. Di samping banyak kasus ketegangan antar umat beragama, di sana juga dijumpai keluarga yang memiliki basis campuran; yakni keberagaman dalam satu keluarga, hal 198. Terlebih, pada 1998 sempat terjadi huru-hara yang menyelimuti kondisi sosial-keberagamaan warga, hal 210.
Di Orde Baru, manifestasi identitas agama dilarang untuk ditampilkan di muka publik, dengan tujuan menjaga stabilitas nasional. Soeharto menilai bahwa pemunculan identitas agama di ruang publik berpotensi memicu konflik dan menciptakan instabilitas, yang akan berdampak pada terhambatnya perkembangan di sektor perekonomian.Berpijak pada fakta di masa silam tersebut, Suhadi mencoba menelisik pola interaksi Muslim-Kristen pada era setelah Reformasi.
Tercatat bahwa, pada akhir tahun 1980-an, transformasi ekonomi dan politik di Indonesia berimbas pada transformasi keagamaan. Gagasan kebebasan dan liberalisasi, yang memainkan peran di arena politik, berpengaruh pada kehidupan beragama. Kran kebebasan yang dibuka pada era reformasi dimanfaatkan secara terbuka oleh kedua belah pihak, baik oleh “muslim ektrem” ataupun “Kristen militan”.
Untuk membatasi kajiannya, penulis mengaku tidak membahas hal-ihwal kajian teks-teks Al-Qur’an ataupun Injil, namun lebih menitik-beratkan pada bagaimana simbol-simbol agama dipergunakan oleh para pengikutnya dalam melakukan interaksi antar sesama. Dengan begitu, langgam identitas akan terlihat dengan jelas melalui bahasa yang digunakan dalam keseharian. Sebagaimana disebutkan, Pierre Bourdieau menempatkan identitas sebagai suatu sumber rujukan. Penggunaan bahasa menetukan identitas sehingga bisa dipetakan bagaimana “relasi dealektik” yang terjadi antara bahasa dan realitas, hal 44.
Suhadi menemukan relasi yang sejalan dengan nafas Pancasila, yang mana merangkul semua suku, agama, dan ras. Hal itu termanifestasi dalam hubungan keseharian. Ia mencatat, partisipan muslim menyebut pihak kristen tidak dengan sebutan bernuansa negatif layaknya kafir, musrik, atau musuh. Namun lebih mengedepankan komunikasi yang bersahaja seperti teman, tetangga, kawan, dan lain sebagainya. Penyebutan tersebut dinilai lebih kontibutif terhadap rekonsiliasi antar sesama. Penggunaan bahasa yang santun mengejawantahkan sikap yang inklusif daripada eksklusif, hal 202.
Menggunakan penggunaan kata yang santun, alih-alih memakai kata yang bisa merusak tali silaturahim, dapat mengeratkan tali persaudaraan. Dalam tataran yang lebih luas, jika dilakukan secara kontinu, hal tersebut dapat merajut rasa kebangsaaan bersama.
Buku ini membuktikan bahwa Pancasila tidak hanya dirapalkan tanpa implementasi secara nyata. Hubungan kultural di antara pemeluk agama merupakan bukti sahih terkait hal tersebut. Pesan implisit yang hendak disisipkan oleh penulis tak lain: menyokong kepercaya-dirian untuk berani membumikan nilai-nilai Pancasila di kehidupan riil.
Fakta-fakta yang dipaparkan seolah ingin membuktikan bahwa dogma Pancasila yang tercermin dai P-4 di zaman Orde Baru tidak menjangkiti partisipan. Seiring berjalannya waktu, kabut gelap yang menyelimuti tersingkap lahan-perlahan. Wawasan multikultur yang khas Indonesia bisa disemai dengan tatapan penuh optimisme.
Pada hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni, setidaknya kita—melalui hasil penelitian ini—masih bisa menggantungkan harapan bahwa kesadaran tentang perbedaan di negeri ini masih bisa dirawat, dijaga, dan dikembangkan dari hari ke hari. Aral rintangan tentu tidak mungkin dihilangkan dengan sekali tepuk tangan, namun yang jauh lebih penting optimisme untuk menyambut Indonesia dipupuk dengan hadirnya buku hasil disertasi penulis di negeri Kincir Angin ini.
Di tengah eskalasi hubungan antar agama yang terus saja menggeliat, buku ini hadir memberikan setetes embun penyejuk. Setidaknya membukakan mata kita atas fakta lain yang sering tak diungkap oleh media mainstream yang kerap tak berimbang dalam mempublikasikan relasi umat beragama di Indonesia.
(Ahmad Khotim Muzakka)
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.