• PEDOMAN MEDIA SIBER
  • Tentang
  • Kontribusi
  • Kirim Tulisan
  • Redaksi
Monday, April 19, 2021
Rahmatan.Com
  • Beranda
  • EDITORIAL
  • KAJIAN
    • Al-Quran
    • Hadits
    • BUDAYA
  • BERITA
  • KOLOM
    • OPINI
    • RESENSI
  • SASTRA
No Result
View All Result
  • Beranda
  • EDITORIAL
  • KAJIAN
    • Al-Quran
    • Hadits
    • BUDAYA
  • BERITA
  • KOLOM
    • OPINI
    • RESENSI
  • SASTRA
No Result
View All Result
Rahmatan.Com
No Result
View All Result

Pancasila, Sebuah Mozaik dari Solo untuk Indonesia

Redaksi Rahmatan by Redaksi Rahmatan
June 29, 2019
in Uncategorized
Pancasila, Sebuah Mozaik dari Solo untuk Indonesia

I Come from Pancasila Family (Dr. Suhadi)

Bagikan..

Buku              : “I Come from Pancasila Family”: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia Post-Reformasi Era

Penulis           : Suhadi

Artikel lain

Menyemai Moderasi dalam Bingkai Puisi

Islam dan Tanggung Jawab terhadap Lingkungan

Tinjauan Rekonstruksi Sejarah Al-Quran

Menilik Jejak Buruh di Indonesia

Penerbit         : Lit Verlag, Zurich

Terbit             : pertama, 2014

Tebal              : 241 halaman

Wacana mengenai Pancasila terus mengecambah. Dari hari ke hari, perbincangan peran penting Pancasila tidak lekang ditelan zaman. Relevansinya mengokohkan fondasi kewarganegaraan pun selalu mendapatkan tantangan. Buku bertajuk seksi I Come from Pancasila Family ini mendedahkan bagaimana dinamika hidup masyarakat di akar rumput.

Suhadi, penulis yang menyelesaikan program doktoral di Rodboud University Nijmegen, Belanda ini menyajikan analisa menggelitik perihal pemaknaan relasi Muslim-Kristen di Indonesia setelah masa Reformasi. Ia tidak mengkaji masalah teologi, namun memfokuskan diri para hubungan timbal balik yang dijadikan alat teropong untuk memetakan identitas personal, yang memungkinkan berimbas pada identitas komunal.

Dalam kajiannya ini, penulis menjadikan Kota Solo sebagai objek penelitian. Solo dikenal sebagai kota yang penuh dinamika keagamaan. Di samping banyak kasus ketegangan antar umat beragama, di sana juga dijumpai keluarga yang memiliki basis campuran; yakni keberagaman dalam satu keluarga, hal 198. Terlebih, pada 1998 sempat terjadi huru-hara yang menyelimuti kondisi sosial-keberagamaan warga, hal 210.

Di Orde Baru, manifestasi identitas agama dilarang untuk ditampilkan di muka publik, dengan tujuan menjaga stabilitas nasional. Soeharto menilai bahwa pemunculan identitas agama di ruang publik berpotensi memicu konflik dan menciptakan instabilitas, yang akan berdampak pada terhambatnya perkembangan di sektor perekonomian.Berpijak pada fakta di masa silam tersebut, Suhadi mencoba menelisik pola interaksi Muslim-Kristen pada era setelah Reformasi.

Tercatat bahwa, pada akhir tahun 1980-an, transformasi ekonomi dan politik di Indonesia berimbas pada transformasi keagamaan. Gagasan kebebasan dan liberalisasi, yang memainkan peran di arena politik, berpengaruh pada kehidupan beragama. Kran kebebasan yang dibuka pada era reformasi dimanfaatkan secara terbuka oleh kedua belah pihak, baik oleh “muslim ektrem” ataupun “Kristen militan”.

Untuk membatasi kajiannya, penulis mengaku tidak membahas hal-ihwal kajian teks-teks Al-Qur’an ataupun Injil, namun lebih menitik-beratkan pada bagaimana simbol-simbol agama dipergunakan oleh para pengikutnya dalam melakukan interaksi antar sesama. Dengan begitu, langgam identitas akan terlihat dengan jelas melalui bahasa yang digunakan dalam keseharian. Sebagaimana disebutkan, Pierre Bourdieau menempatkan identitas sebagai suatu sumber rujukan. Penggunaan bahasa menetukan identitas sehingga bisa dipetakan bagaimana “relasi dealektik” yang terjadi antara bahasa dan realitas, hal 44.

Suhadi menemukan relasi yang sejalan dengan nafas Pancasila, yang mana merangkul semua suku, agama, dan ras. Hal itu termanifestasi dalam hubungan keseharian. Ia mencatat, partisipan muslim menyebut pihak kristen tidak dengan sebutan bernuansa negatif layaknya kafir, musrik, atau musuh. Namun lebih mengedepankan komunikasi yang bersahaja seperti teman, tetangga, kawan, dan lain sebagainya. Penyebutan tersebut dinilai lebih kontibutif terhadap rekonsiliasi antar sesama. Penggunaan bahasa yang santun mengejawantahkan sikap yang inklusif daripada eksklusif, hal 202.

Menggunakan penggunaan kata yang santun, alih-alih memakai kata yang bisa merusak tali silaturahim, dapat mengeratkan tali persaudaraan. Dalam tataran yang lebih luas, jika dilakukan secara kontinu, hal tersebut dapat merajut rasa kebangsaaan bersama.

Buku ini membuktikan bahwa Pancasila tidak hanya dirapalkan tanpa implementasi secara nyata. Hubungan kultural di antara pemeluk agama merupakan bukti sahih terkait hal tersebut. Pesan implisit yang hendak disisipkan oleh penulis tak lain: menyokong kepercaya-dirian untuk berani membumikan nilai-nilai Pancasila di kehidupan riil.

Fakta-fakta yang dipaparkan seolah ingin membuktikan bahwa dogma Pancasila yang tercermin dai P-4 di zaman Orde Baru tidak menjangkiti partisipan. Seiring berjalannya waktu, kabut gelap yang menyelimuti tersingkap lahan-perlahan. Wawasan multikultur yang khas Indonesia bisa disemai dengan tatapan penuh optimisme. 

Pada hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni, setidaknya kita—melalui hasil penelitian ini—masih bisa menggantungkan harapan bahwa kesadaran tentang perbedaan di negeri ini masih bisa dirawat, dijaga, dan dikembangkan dari hari ke hari. Aral rintangan tentu tidak mungkin dihilangkan dengan sekali tepuk tangan, namun yang jauh lebih penting optimisme untuk menyambut Indonesia dipupuk dengan hadirnya buku hasil disertasi penulis di negeri Kincir Angin ini.

Di tengah eskalasi hubungan antar agama yang terus saja menggeliat, buku ini hadir memberikan setetes embun penyejuk. Setidaknya membukakan mata kita atas fakta lain yang sering tak diungkap oleh media mainstream yang kerap tak berimbang dalam mempublikasikan relasi umat beragama di Indonesia.

(Ahmad Khotim Muzakka)

Facebook Comments

Bagikan kepada Teman

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on Google+ (Opens in new window)
  • Click to share on Telegram (Opens in new window)
  • Click to share on Tumblr (Opens in new window)

Related


Bagikan..
Tags: indonesiapancasila
Previous Post

Ka'bah, Sejarah Kiblat Umat Manusia

Next Post

Pelajaran Nasionalisme Kiai Maimoen Zubair

Redaksi Rahmatan

Redaksi Rahmatan

Discussion about this post

Ikuti Update Artikel lewat Email

Masukkan alamat email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan dari update artikel dari Rahmatan.com. Jangan sampai ketinggalan!

Ikuti Kami

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram

Recent Posts

  • Meneroka Paradigma Antropologi Agama Muhammad Arkoun
  • Menyemai Moderasi dalam Bingkai Puisi
  • Islam dan Tanggung Jawab terhadap Lingkungan
  • Tinjauan Rekonstruksi Sejarah Al-Quran
  • Menilik Jejak Buruh di Indonesia
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • Tentang
  • Kontribusi
  • Kirim Tulisan
  • Redaksi

© 2018 Rahmatan.Com - Menebar Islam Rahmah Tim Rahmatan.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • EDITORIAL
  • KAJIAN
    • Al-Quran
    • Hadits
    • BUDAYA
  • BERITA
  • KOLOM
    • OPINI
    • RESENSI
  • SASTRA

© 2018 Rahmatan.Com - Menebar Islam Rahmah Tim Rahmatan.

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In