Moderasi beragama di Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang tekstual, melainkan juga minus kepekaan sosial atas ruang publik yang komunal. Pemahaman atas akses publik ini menjadi relevan mengingat negara ini dibangun atas kesepakatan berbagai macam kelas dan identitas.
Beberapa waktu lalu perbincangan publik kita diriuhkan oleh tudingan ketidakberpihakan pemerintah terhadap Islam. Khususnya terkait penggunaan pengeras suara masjid dan musala untuk mengumandangkan adzan, pujian-pujian, dan berbagai macam ritual keagamaan yang memang menjadi ciri khas masyarakat muslim Indonesia. Narasi yang berkembang liar di media sosial adalah pemerintah melarang penggunaan pengeras suara dan diamplifikasi sebagai sikap Menteri Agama yang tidak mendukung dakwah Islam. Benarkah logika semacam ini?
Keriuhan yang terjadi ini sebenarnya adalah respons sebagian masyarakat atas Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Namun, alih-alih berfokus pada surat edaran ini, masyarakat kita justru berkubang dalam contoh yang ditamsilkan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang dinilai telah menghina dengan menyamakan gangguan suara adzan dan gonggongan anjing.
Jika kita membaca secara seksama isi edaran tersebut, tentu dengan kejernihan pikiran dan melepaskan tendensi politis, tidak ada persoalan dalam surat edaran ini. Justru surat edaran berisi himbauan menteri agama untuk mengatur volume speaker di musala dan masjid.
Sebagai negara muslim terbesar, Indonesia dihuni berbagai macam tradisi keagamaan Islam yang sangat kaya. Di berbagai ritual keagamaan, selalu ingin memperdengarkan kepada publik. Sejurus dengan misi dakwah, setiap orang dari berbagai latar belakang organisasi keagamaan berlomba-lomba untuk menyuarakan tradisi keagamaan tersebut.
Nah, dalam konteks ini, seruan Gus Yaqut, yang menyarankan umat Islam untuk mengatur volume speaker menimbulkan kontroversi. Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Menteri Agama bukan hal yang sama sekali baru. Dalam artian, kegelisahan tersebut merupakan “kritik lama” yang juga pernah disampaikan oleh Kiai Abdurrahman Wahid dengan tulisan “Islam Kaset dan Kebisingannya” (1982).
Dua dokumen ini, yakni tulisan Gus Dur dan surat edaran Gus Yaqut, memiliki benang merah yang sama. Adalah bahwa di tengah semangat keber-Islaman masyarakat Indonesia, utamanya dalam menggunakan pengeras suara di masjid, perlu dirumuskan satu rumusan konkrit berkait dengan penggunaannya.
Mengapa harus diatur penggunaan pengeras suara ini? Gus Dur, melalui tulisan pendek itu mengatakan bahwa tindakan harus dilandaskan atas ‘illat atau sebab yang sah menurut agama. Sehingga memperbolehkan suatu hal boleh dilaksanakan. Misalnya, dicontohkan, seorang kiai menotok pintu kamar santri untuk mengedukasi mereka agar terbiasa dengan bangun pagi.
Kasus Meiliana
Lalu, bagaimana kita memahami ‘illat pengaturan volume speaker dan penggunaanya di Indonesia? Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara multikultur, meskipun kita tahu bahwa negara yang sedang membangun Ibu Kota baru di Kalimantan ini juga merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, yang mencapai angka 80 persen lebih.
Fakta tersebut memang agak musykil bagi sebagian kalangan jika penggunaan volume speaker mesti diatur sedemikian rigit. Seolah para takmir dan pengurus masjid tidak memiliki kepekaan sosial untuk mengelolanya. Namun, kita tentu tidak lupa juga dengan fakta tentang kasus Meiliana yang sempat menghebohkan itu. Pada Maret 2017, Meiliana menjadi tersangka kasus penistaan agama karena setahun sebelumnya mengeluhkan pengeras suara masjid.
M. C. Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200 mencatat bahwa Abdurrahman Wahid berkontribusi dalam terwujudnya pluralisme kebudayaan dan keterbukaan antar anak bangsa. Hal tersebut diwujudkannya dengan mengizinkan keturunan China merayakan hari raya mereka, membuat referendum Aceh yang dalam waktu bersamaan tidak memperbolehkan mereka memisahkan diri dari Indonesia, serta mengubah Irian Jaya menjadi Papua dengan catatan tidak memerdekakan diri.
Keputusan-keputusan politik yang dilakukan Gus Dur tentu sangat kontroversial. Utamanya terkait dengan izin yang dibuat terkait dengan perayaan orang Tionghoa. Hal tersebut dikarenakan beririsan dengan paham keagamaan umat Islam lain, yang bisa jadi merasa terancam jika melihat aneka perayaan keagamaan umat lain dirayakan secara terbuka. Namun, faktanya, hingga kini keputusan yang diambil oleh Gus Dur terbukti mencerminkan sikap kedewasaan beragama yang paripurna.
Kasus Meiliana, tentu, jadi tabir sejarah yang cukup membuat kita merinding. Bermula dari persoalan yang dianggap kecil ternyata menjalar jadi bumerang hubungan antar umat beragama. Sangat mungkin bahwa kebijakan pengaturan volume pengeras suara ini sama sekali tidak dapat dilepaskan dari konteks yang seperti ini. Bisa saja, kejadian yang menimpa Meiliana itu merupakan kegelisahan komunal dari minoritas yang tidak berani bersuara. Jika bersuara tentang itu akan dianggap tidak menghormati ritual keagamaan umat Islam.
Harmoni Keberagamaan
Sa’ad al-Din Hilali, Guru Besar Fikih Perbandingan, Universitas Al-Azhar dalam buku Al-Islam Wa Insyaniyah ad-Daulah (2018) menyatakan bahwa negara berhak menjaga jiwa raga, harta, pemikiran, dan agama penduduknya berdasarkan atas asas penegakan keadilan, stabilitas luar negeri, keamanan dalam negeri, dan mewujudkan nuansa keagamaan dan pembangunan tanpa harus saling bertentangan satu dengan yang lain.
Selaras dengan itu, surat yang ditanda-tangani Gus Yaqut sebetulnya tidak mengandung persoalan sama sekali. Apalagi dalam Surat Edaran itu disebutkan bahwa kebijakan ini didasarkan pada kesadaran kemajemukan Indonesia. Bisa dikatakan bahwa, aturan ini justru ingin merangkul berbagai dimensi kepentingan sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebagaimana terjadi pada kasus Meiliana.
Sayangnya, kepekaan sosial ini tidak ditangkap (sebagian) publik dengan jernih. Justru masyarakat terfokus pada kegaduhan yang lain, yaitu contoh yang diberikan oleh Menteri Agama. Dengan demikian, narasi kebencian terkait dengan pengaturan volume pengeras suara masjid sangat mendegradasi niat awal pembuatnya. Bahwa dengan pemberlakuan ini yang dituju adalah terwujudnya harmoni sosial yang dimulai dari harmoni keberagamaan. Harmoni keberagamaan ini, yang salah satu wujud konkritnya adalah dengan menjaga ruang publik, bisa menginspirasi harmoni bangsa yang multikultural ini.
Yang tak bisa dimungkiri adalah bahwa tiap daerah, kota, atau desa memiliki
konteks kebudayaan manusia yang khas. Di desa, misalnya, masyarakatnya lebih
homogen dibandingkan dengan masyarakat kota yang heterogen. Fakta ini cukup
untuk menjadi pijakan kultural dan membangunkan kesadaran keberagamaan yang
tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri atas nama keyakinan. Dengan
landasan berpikir yang semacam ini, saya kira, kita bisa lebih merajut harmoni
sosial yang bercorak nusantara.
Subcribe untuk berlangganan artikel selanjutnya.